Penelitian mutakhir yang disajikan dalam sebuah konferensi arkeologi maritim mengungkapkan setidak-tidaknya 48 kapal karam—termasuk kapal-kapal Perang Dunia II dan beberapa kapal pascaperang—diangkat secara ilegal di Asia Tenggara. Angka ini adalah lonjakan mengejutkan dari beberapa kapal karam yang diketahui sudah rusak atau hancur.
Jepang kehilangan sebagian besar kapal karamnya. Negara-negara lain yang juga mengalami kehilangan adalah Australia, Amerika, Belanda, Inggris, Jerman, dan Swedia.
Namun, sumber-sumber yang dekat dengan masalah ini mengatakan bahwa angkanya mungkin jauh lebih tinggi lagi, mengingat sebuah perusahaan Cina mengklaim sudah menyelamatkan lebih dari 1.000 kapal karam di Laut Cina Selatan.
Sekaranglah saatnya bergerak cepat untuk melindungi kapal-kapal karam itu dan melestarikan sejarah yang terkandung. Museum bisa memainkan peran utama. Misalnya, pameran-pameran seperti Guardians of Sunda Strait yang kini diselenggarakan Australian National Maritime Museum menjadi saksi bagi gema terus-menerus kisah-kisah kapal-kapal tersebut meskipun situsnya sendiri sudah hancur.
Pameran ini, memusatkan perhatian pada tenggelamnya HMAS Perth dan USS Houston dalam Perang Dunia II, menjadi semakin terasa relevansinya dengan fakta bahwa HMAS Perth, khususnya, banyak dipereteli dalam tahun-tahun belakangan ini.
Gema emosional kisah-kisah keberanian dan pengorbanan yang diceritakan di sini—seperti kisah veteran HMAS Perth Arthur Bancroft, yang mengalami kapal karam bukan cuma sekali melainkan dua kali, dan Padri Tentara Rentz USS Houston, yang mendesak seorang juru sinyal muda untuk memakai pelampungnya setelah kapal tenggelam—diperkuat, bukan dipudarkan, oleh tragedi kontemporer yang menyertai.
Beberapa negara, seperti AS, sudah mengesahkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi kapal militer tenggelam mereka, di mana pun mereka bersemayam.
Di tingkat internasional, Hukum Laut PBB 1982 menyatakan bahwa, kecuali secara eksplisit ditinggalkan, sebuah negara bendera (negara di mana sebuah kapal terdaftar) memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal karam. Ini juga berlaku tanpa memandang apakah kapal yang bersangkutan tenggelam di perairan asing atau tidak.
Tenggelam selama tiga dekade, piring keramik dari HMAS Perth ini diselamatkan pada tahun 1970-an dan akhirnya dikembalikan ke Angkatan Laut Australia. (Natali Pearson)
Tenggelam selama tiga dekade, piring keramik dari HMAS Perth ini diselamatkan pada tahun 1970-an dan akhirnya dikembalikan ke Angkatan Laut Australia.Natali Pearson
Untuk kapal-kapal yang tidak sepenuhnya hancur, terdapat alasan kuat bagi penyelamatan “benda-benda standar” seperti lonceng kapal di kapal-kapal militer—benda yang pasti familier bagi setiap perwira atau pelaut, apa pun pangkat mereka.
Pada tahun 2002, menanggapi keprihatinan atas penyelamatan ilegal kapal-kapal karam Inggris di perairan Malaysia, sebuah tim penyelam Angkatan Laut Inggris mengawasi penyelamatan lonceng dari HMS Prince of Wales. Kapal ini adalah bagian dari skuadron angkatan laut Inggris Force Z, yang dibentuk untuk melindungi kepentingan-kepentingan kolonial Inggris di Asia Tenggara. Gugus laut ini dihancurkan oleh pesawat tempur Jepang pada tahun 1941. Berbagai laporan menunjukkan bahwa penyelamatan ilegal HMS Prince of Wales, maupun HMS Repulse yang ada di dekatnya, sedang berlangsung.
Prakarsa-prakarsa penyelamatan strategis semacam itu harus menjadi hak istimewa negara pemilik kapal, dan persyaratan ketat perlu diberlakukan. Di banyak negara, ini menghendaki perubahan legislatif. Apabila kapal-kapal perang yang tenggelam diketahui merupakan kuburan bawah air, penyelamatan benda-benda yang bersangkutan juga harus dilakukan dengan persetujuan korban selamat dan keturunannya.
Walaupun kini kita tahu bahwa banyak kapal karam yang sudah rusak, masih ada beberapa yang tetap tak terjamah atau bahkan belum ditentukan lokasinya. Misalnya, keberadaan kapal selam pertama Australia, AE1, tetap menjadi misteri.
Sementara itu, di dekat Pulau Savo di Kepulauan Solomon, HMAS Canberra beristirahat dalam posisi tegak dan utuh di dasar “Selat Ironbottom”. Tenggelam karena bocor setelah konfrontasi dengan Jepang pada Agustus 1942, lokasi bangkainya ditemukan pada tahun 1992 oleh Robert Ballard (lebih dikenal karena menemukan bangkai RMS Titanic).
Ada juga misteri yang menyelimuti kapal itu: sebagian kalangan mengemukakan kemungkinan bahwa kapal tersebut adalah korban tembakan teman sendiri. Tidak diketahui apakah HMAS Canberra menghadapi risiko dijarah, tetapi jelas bahwa kapal itu akhirnya akan takluk pada kerusakan alami.
Kapal-kapal karam yang terjaga dengan baik seperti HMAS Canberra adalah kandidat utama bagi salah satu perkembangan paling menggembirakan dalam arkeologi maritim: pelestarian digital melalui fotogrametri. Upaya ini melibatkan seorang penyelam atau wahana yang dikendalikan jarak jauh untuk mengambil ribuan foto suatu kapal karam dan lokasi tinggalannya. Gambar-gambar itu kemudian “dijahit” secara digital untuk menciptakan visualisasi, rekonstruksi dan bahkan replika 3D.
Terdapat potensi signifikan bagi teknologi semacam itu dalam lingkungan sebuah museum, terutama karena lingkungan museum memungkinkan khalayak baru untuk mengakses secara virtual situs kapal karam tanpa perlu mengatasi tantangan kedalaman, arus dan jarak pandang yang buruk. Fotogrametri juga mengatasi hambatan hukum bagi akses.
Fasilitas HIVE Universitas Curtin menggunakan data besar, algoritme canggih dan daya pemrosesan sebuah superkomputer untuk melestarikan secara digital tinggalan HMAS Sydney, hilang pada tahun 1941 berikut segala isinya, dan kapal Jerman yang menenggelamkannya, HSK Kormoran. Kapal-kapal karam itu adalah situs yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan Australia, dan tidak bisa diakses oleh masyarakat umum.
Para anggota tim Sydney-Kormoran Project melihat model rekonstruksi 3D HMAS Sydney II di fasilitas HIVE Universitas Curtin Sam Proctor (Sam Proctor)
Fotogrametri juga tidak terbatas hanya untuk mereka yang mempunyai akses pada superkomputer. Arkeolog maritim Matt Carter saat ini sedang mengembangkan sebuah model 3D kapal selam mini Jepang M-24, yang ditemukan di lepas pantai Bungan Head Sydney, menggunakan kamera-kamera sedikit lebih bagus dari umumnya kamera beresolusi tinggi, perangkat lunak yang tersedia di pasaran, dan banyak kesabaran.
Tanggung jawab museum menjadi semakin berat ketika peninggalan itu semakin terancam—bukan hanya oleh pencuri dan perompak, melainkan oleh perubahan iklim, kenaikan suhu laut, dampak pembangunan pesisir dan laut dalam, serta degradasi alamiah. Dan, seperti halnya banyak situs di permukaan bumi, peninggalan sejarah bawah air kini semakin terancam oleh efek pariwisata.
Benda-benda dan situs peninggalan bersejarah bukanlah tujuan itu sendiri. Nilai sesungguhnya dari benda-benda dan tempat-tempat itu terletak pada bagaimana mereka bisa digunakan untuk menciptakan makna, merefleksikan masa lalu, dan menerjemahan serta menafsirkannya kembali bagi generasi mendatang.
Bagi saya, hancurnya 48 kapal tersebut tidak menghalangi diceritakannya kisah-kisah mereka. Penyelamatan ilegal atas peninggalan bersejarah bawah air, terutama gangguan tanpa izin terhadap sisa-sisa jasad manusia, pantas dikecam keras.
Tetapi kemampuan kita memetik makna dari kapal-kapal karam itu tidak lantas menyusut karena ketiadaan mereka. Beberapa sarjana bahkan melangkah sedemikian jauh dengan menyatakan bahwa hancurnya peninggalan bersejarah, betapapun memilukannya, memberikan dorongan bagi bentuk-bentuk ingatan yang lebih aktif dan lebih sadar.
Guardians of Sunda Strait digelar di Australian National Maritime Museum hingga November 19. Di Museum Bahari Jakarta Utara pameran Battle of the Java Sea atau Pertempuran Laut Jawa masih berlangsung hingga tahun 2018
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR