Beberapa tahun terakhir, ilmuwan menemukan cara untuk secara signifikan mengurangi penularan virus demam berdarah lewat nyamuk Aedes aegypti. Dengan memasukkan Wolbachia—bakteri yang dapat menghentikan kemampuan virus dengue untuk bertahan dalam tubuh nyamuk—ke dalam nyamuk Aedes aegypti dan kemudian melepaskan nyamuk-nyamuk tersebut ke populasi masyarakat, ilmuwan berhasrat menghapuskan demam berdarah di seluruh dunia.
Namun melepas nyamuk membutuhkan tingkat kepercayaan yang sangat tinggi dari masyarakat. Bagaimana meyakinkan masyarakat bahwa melepas nyamuk dapat menghilangkan demam berdarah ketika mereka telah lama memahami bahwa nyamuk Aedes menyebarkan demam berdarah?
Jawabannya? Persiapan yang sangat teliti dan komunikasi dengan masyarakat.
Saya memimpin program Eliminate Dengue Project di Yogyakarta (EDP-Yogya), program pertama yang menggunakan Wolbachia untuk mengurangi kasus demam berdarah di Indonesia, negara paling rentan demam berdarah di Asia. Didanai oleh Yayasan Tahija, EDP-Yogya bekerja sama dengan EDP-Global yang dipimpin Profesor Scott O\'Neill di Monash University.
Dua kecamatan di Sleman, Yogyakarta menjadi situs penyebaran kami. Selama dua tahun sejak 2011, sementara kami menyiapkan pelepasan pertama nyamuk-nyamuk yang terinfeksi Wolbachia, kami juga melakukan komunikasi dengan masyarakat secara intensif.
Kami bekerja sama dengan unit masyarakat terkecil, Rukun Tetangga (RT) untuk menumbuhkan rasa percaya. Satu RT terdiri dari sekitar 20 sampai 30 rumah tangga. Kami menyelenggarakan pertemuan tatap muka dengan masyarakat untuk memberi informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan demam berdarah, baik dengan mengikuti pertemuan rutin mereka atau menyiapkan pertemuan khusus.
Kami membentuk kelompok-kelompok rujukan agar dapat mendengarkan isu-isu yang ingin ditanyakan oleh komunitas serta untuk menyebarluaskan informasi ke komunitas. Seiring dengan perkembangan program, anggota kelompok rujukan ini menjadi sumber rujukan informasi untuk komunitas lain.
(Baca juga: Ini Cara Layanan Telepon Bantu Kontrol Penyebaran Demam Berdarah)
Kami juga mengadopsi peribahasa “tak kenal maka tak sayang”. Warga mengunjungi tempat pengembangbiakan nyamuk dan laboratorium diagnosis agar dapat memahami lebih lanjut mengenai nyamuk Aedes dan Wolbachia. Kunjungan ke lab ini menciptakan rasa keterbukaan yang tinggi. Tidak ada yang kami sembunyikan dari warga.
Dua tahun sesudah fase persiapan, kami mengembangkan sistem untuk menampung kekhawatiran, pendapat, dan keluhan warga seiring semakin dekatnya waktu pelepasan nyamuk. Kami menggunakan beragam medium, seperti percakapan tatap muka, pesan singkat, telepon, dan surel. Setiap hari kami memantau apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh warga dan kami mengembangkan protokol untuk menindaklanjuti pertanyaan warga.
Dan yang tak kalah penting, membagi informasi pada publik juga penting untuk membangun rasa percaya. Setiap dua bulan, kemajuan dan kegiatan di dusun tertentu dikomunikasikan via nawala (“Pawartos”), yang disebarkan ke seluruh rumah di komunitas tempat penelitian.
Persetujuan komunitas
Mengembangkan pemahaman komunitas dalam penelitian berbasis masyarakat seperti EDP-Yogya adalah syarat utama meraih penerimaan warga terhadap kegiatan ini. Meskipun demikian, pemahaman komunitas yang lebih baik mengenai demam berdarah dan intervensi Wolbachia tidak serta merta mengisyaratkan persetujuan dari warga.
Persetujuan harus diperoleh dari warga sebagai partisipan penelitian. Kami bekerja sama dengan EDP Global di Monash University. Untuk pelepasan yang pertama di Sleman, Komisi etik penelitian mensyaratkan agar meminta persetujuan individual di setiap rumah tangga. Kami mendapatkan persetujuan dari hampir 4.500 orang.
Dari pengalaman di Sleman, kami memetik pembelajaran bahwa persetujuan individual dapat menimbulkan pertentangan warga. Secara kultural, komunitas di wilayah ini menggunakan proses pengambilan keputusan secara kolektif dalam menghadapi isu-isu di komunitas. Protokol yang kami kembangkan lebih mengutamakan hak orang-orang yang menolak berpartisipasi, ketimbang yang setuju.
Selain itu, mendapatkan persetujuan individual membutuhkan kerja keras. Meski kami mampu memperoleh lebih dari 95% persetujuan masyarakat, pendekatan ini tidak praktis dilakukan pada skala besar.
(Baca juga: 5 Makanan Penambah Trombosit)
Selanjutnya,, sejumlah kecil anggota rumah tangga yang menolak intervensi ini ternyata mempengaruhi wilayah pelepasan. Apabila satu rumah tangga menolak pelepasan nyamuk, maka kami tidak melepas nyamuk di rumah tersebut dan sekitarnya sampai sejauh 25-50 meter persegi. Akibatnya, 5% dari populasi yang tidak setuju tidak berarti hanya sekitar 5% dari luasan daerah tersebut yang tidak dilepasi nyamuk, tetapi lebih luas daripada itu.
Berdasarkan pengalaman di Sleman ini, dalam pelepasan nyamuk di Bantul kami menggunakan persetujuan tingkat komunitas, akan tetapi tetap mempertahankan hak individu untuk menolak. Seluruh RT di Jomblangan and Singosaren (Bantul) memberikan persetujuan dan tidak ada rumah tangga yang menolak pelepasan nyamuk.
Kami juga mengubah metode pelepasan nyamuk dewasa menjadi pelepasan telur Aedes. Kami melibatkan warga untuk menetaskan telur yang sudah terinfeksi Wolbachia di ember-ember yang ditempatkan di rumah-rumah mereka. Melibatkan warga untuk beternak telur Aedes aegypt ber-Wolbachia ini di rumah mereka sendiri menciptakan rasa kepemilikan yang besar terhadap penelitian ini.
Pantauan mingguan dari nyamuk Aedes menemukan bahwa bakteri Wolbachia telah dan tetap menyebar di lebih dari 80% populasi nyamuk. Ini menunjukkan bahwa penyebaran Wolbachia di populasi nyamuk bersifat berkelanjutan.
Pengamatan kami terhadap kasus demam berdarah di masyarakat menunjukkan bahwa ketika sebagian besar nyamuk sudah ber-Wolbachia, tidak terjadi transmisi setempat demam berdarah di wilayah tersebut. Ini artinya mereka yang terjangkit demam berdarah terinfeksi dari luar wilayah pelepasan.
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR