Nationalgeographic.co.id—Pada 2010 film Tron: Legacy tayang dengan menceritakan Sam Flynn yang mencari ayahnya, teknisi perangkat lunak dan CEO perusahaan fiktif ENCOM bernama Kevin Flynn.
Ceritanya merupakan lanjutan dari film Tron (1982), ketika sang ayah berhasil membuat dunia bernama Grid. Tetapi, setelah berhasil mengurusi permasalahan plagiarisme di dunia virtual dan mendapatkan CEO perusahaan, Kevin tidak kembali.
Selama beberapa dekade, Sam mencari ia justru masuk ke dunia virtual tersebut dari gim arcade milik ayahnya. Ternyata selama ini Kevin terjebak di sana setelah program Clu—karakter yang dibuatnya—membajak Grid, sehingga ia tertahan untuk bisa kembali.
Singkatnya, Sam, Kevin, dan program bernama Quorra, berusaha kembali ke dunia nyata dengan menyusup ke pertahanan Clu dan portal. Tetapi sang ayah terpaksa menetap di Grid untuk menghancurkan seluruh program, termasuk Clu. Dunia virtual itu hancur, bersamaan dengan Kevin yang harus mengakhiri hidupnya di tengah perjalanan berusaha keluar dari Grid.
Itulah salah satu film fiksi yang menggambarkan dunia virtual yang memiliki tempat seperti dunia nyata. Di Grid itu sendiri ada banyak kegiatan yang bisa dijalani, mulai dari bertarung bagai gladiator, mengendarai kendaraan futuristik, hingga berpesta musik.
Satu dekade dari tayangnya film Tron: Legacy, telah banyak perusahaan menciptakan dunia virtual mereka lewat berbagai gim, yang kemudian berkembang sebagai metaverse.
Di dalam meraverse yang diciptakan memiliki mata uangnya sendiri untuk menghidupi karakternya, seperti Roblox dan Second Life. Baru-baru ini juga Mark Zuckerberg membuat metaverse dengan gagasan, semua kehidupan nyata kita bisa dipindahkan ke sana, termasuk urusan kantor, hiburan, dan berbelanja.
Baca Juga: Sains di Balik 'Spider-Man: No Way Home', Mungkinkah Multiverse Ada?
Ada pula Sandbox yang berkembang dengan mata uang kripto sebagai alat transaksi di dalamnya. Metaverse ini menjanjikan kita untuk bisa membeli tanah digital, yang harganya sangat tinggi dengan kurs kripto Ethereum (ETH) dan Sandbox (SAND).
Selain itu telah banyak seminar, pelatihan, bahkan pernyataan politik, yang menjanjikan tentang pengembangan metaverse. Apakah kita sendiri membutuhkannya?
Perusahaan keuangan Jefferies memperkirakan pendorong di balik metaverse adalah generasi Z atau mereka yang sekarang berusia antara sembilan dan 24 tahun. Tetapi jajak pendapat Hariss Poll menemukan hanya 38 persen yang setuju bahwa "metaverse adalah hal besar berikutnya dan akan menjadi bagian dari kehidupan kita dalam dekade berikutnya."
"Saya pikir mereka skeptis," terang Libby Rodney, kepala strategi di Haris Poll di Business Insider. Penyebabnya, karena Gen Z selama pandemi telah terkurung, dan metaverse punya hal yang menjanjikan untuk memuaskan mereka.
"Satu dunia telah diambil dari mereka (Gen Z), yaitu dunia dalam kehidupan nyata, [dan] mereka ingin kembali."
Mengutip dari News Scientist, Nick Kelly peneliti desain interaksi di Queensland University of Technology, Australia, berpendapat tentang metaverse. Baginya, metaverse yang ada saat ini hanyalah rangkaian pengembangan teknologi yang berisi gramofon yang membawa suara musik langsung ke ruang tamu, dan televisi yang memompa realitas audiovisual alternatif.
"Ini sangat mirip ketika 'internet of things (IoT)' pertama kali muncul, dan ungkapa itu mulai ada di bibir banyak orang," ujarnya. "Ini perkara tren yang kita miliki dalam merancang pengalaman baru."
"Jika seluruh hidup kita dijalani secara daring, ada lebih banyak peluang untuk menjual iklan kepada kita," lanjutnya.
Keunggulan dari metaverse adalah semua layanannya berbentuk fisik tiga dimensi, dengan realitas spasial yang dapat dinavigasikan lewat avatar digital.
Ketika mengubah Facebook menjadi Meta, Zuckerberg menguraikan: "Di masa depan, Anda akan dapat berteleportasi secara instan sebagai hologram untuk berada di kantor tanpa perjalanan, di konser dengan teman, atau di ruang tamu orang tua Anda untuk mengejar ketertinggalan."
Metaverse pun bisa bersatu dengan kehidupan nyata. Sebagai contoh, di dunia virtual Anda mengunjungi sebuah toko, dan berinteraksi dengan asisten virtual untuk menentukan barang yang diinginkan. Ketika Anda membelinya, sistem akan mengantarkan produk asilnya tepat di depan pintu rumah Anda di dunia nyata yang diantar kurir nyata.
Ide ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum Facebook ada, yang salah satunya dipelopori Second Life oleh perusahaan gim Linden Lab. Metaverse ini memungkinkan Anda pergi berpesta—seperti di film Tron: Legacy—dan berjual-beli.
Tetapi, mengutip The Verge, Second Life yang awalnya memiliki pendapatan bruto 64 juta dolar AS dan memiliki satu juta pengguna, perlahan-lahan ditinggalkan. Hal itu disebabkan persaingan infrastruktur antar pengusaha metaverse, ujar Steve Benford, pendiri Reality Laboratory di University of Nottingham, Inggris.
Baca Juga: Tamagotchi Ajarkan Kita Rasa Kehilangan dan Berkabung dari Dulu
"Sekarang infrastruktur mulai mengejar—dan mungkin bagian dari metaverse dapa dikirimkan," ujarnya. "Ada banyak data untuk dikirim di metaverse, dan itu harus sampai ke banyak orang secara global." Infrastruktur tergantung kebutuhan masing-masing metaverse yang menunjang peralatan seperti konektivitas, dan server cloud yang lebih luas.
Kelly juga berpendapat demikian, metaverse diharapkan bisa jadi ajang keterbukaan, memperluas kemungkinan kehidupan, dan kepraktisan sebenarnya. Jika tidak dapat memenuhi kebutuhan ini, seperti yang terjadi pada dunia virtual lainnya, "beberapa atau banyak dari metavese yang sekarang sedang dibangun akan berakhir sebagai kota hantu."
Benford melanjutkan, banyak skeptis terhadap visi metaverse, terutama saat pagebluk COVID-19 yang menganggapnya seperti dunia untuk bekerja secara hibrida. Tak semua kantor dan pegawai bisa melakukan pekerjaan semacam ini, walau mungkin bisa dioptimalkan secara teknis seperti grafis dan kualitas panggilan video.
"Keunggulan yang jelas bagi saya adalah dalam hiburan dan bersosialisasi—hal-hal yang ingin Anda lakukan di mana Anda bergaul dengan orang-orang yang tidak berada di dekatnya," kata Benford di News Scientist. "Sejumlah dari kita sekarang menyadari bawha Anda dapat melakukan hal-hal bermanfaat dengan teman dan keluarga jarak jauh secara daring."
Tapi metaverse juga memiliki sisi yang harus dikritisi. David Reid, doktor AI dan ahli komputasi spasal di Liverpool Hope University, Inggris, menyampaikan metaverse seperti Meta berisiko lebih parah dalam masalah yang sudah ada di media sosial dan internet secara drastis, seperti privasi dan perundungan siber.
Baca Juga: Benarkah Bahwa Facebook Abaikan Kesehatan Mental Pengguna Remajanya?
"Metaverse memiliki implikasi besar—ia akan datang dengan keuntungan yang fantastis dan bahaya yang menakutkan. Dan kita membutuhkan sistem yang sangat kuat untuk mengawasi metaverse" kata Reid dalam rilis Liverpool Hope University.
"Orang-orang khawatir tentang pengaruh Twitter terhadap politik saat ini. Tetapi dalam lingkungan yang benar-benar imersif, seberapa besar pengaruh yang dapat Anda punya kepada seseorang, ketika Anda dapat membawa seseorang ke zona perang dan menunjukkan kepada mereka apa yang sebenarnya terjadi?"
"Demikian juga, seberapa berbahayanya tumpukan media sosial, atau intimidasi daring, menjadi metaverse? Saya berpendapat itu memiliki potensi untuk menjadi jauh, jauh lebih ekstrem. Pengalaman mendalam bisa menjadi sangat emosional," lanjutnya.
Ia menekankan, yang mengkhawatirkan dari perkembangan metaverse adalah batas kabur antara virtual dan realitas. Siapapun yang menjadi penguasa realitas ini dapat mencapai akses jumlah data yang belum pernah ada sebelumnya. Akibatnya, tidak terelakkan, akan adanya penguasaan kekuatan untuk mengendalikannya atas segala realitas yang kita punya.
Baca Juga: Teknologi Perjalanan Waktu, Mungkinkah Kelak Dapat Terwujud?
Source | : | Business Insider,The Verge,news scienctist |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR