Jawaban sederhananya adalah fakta dan argumen rasional betul-betul tidak cukup bagus untuk mengubah keyakinan orang. Itu karena otak rasional kita dipasangi “kabel keras” evolusioner yang tidak begitu berkembang. Salah satu alasan mengapa teori konspirasi bermunculan begitu sering adalah keinginan kita untuk memberlakukan suatu struktur atas dunia dan kemampuan luar biasa untuk mengenali pola-pola. Bahkan, sebuah studi mutakhir menunjukkan adanya korelasi antara kebutuhan individual akan struktur dan kecenderungan untuk meyakini sebuah teori konspirasi.
Ambil deret berikut sebagai contoh:
0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1
Bisakah Anda melihat sebuah pola pada deret di atas? Sangat mungkin – dan Anda tidak sendirian. Sebuah jajak pendapat via Twitter cepat (meniru sebuah studi yang jauh lebih ketat) menunjukkan bahwa 56% orang sepakat dengan Anda – walaupun deret itu dihasilkan oleh koin yang saya lemparkan.
Hey twitter mind, I need your help.
Can you see a pattern here?0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1
If so what is it?
— Prof Mark Lorch (@Mark_Lorch) August 15, 2017
Tampaknya kebutuhan kita akan struktur dan kemampuan mengenali pola kita bisa agak overactive, menimbulkan kecenderungan untuk menangkap pola-pola – seperti konstelasi, awan yang terlihat seperti anjing dan vaksin yang menyebabkan autisme – yang pada kenyataannya sama sekali tidak ada.
prapann/Shutterstock
Kemampuan melihat pola-pola boleh jadi merupakan karakteristik genetis kelangsungan hidup yang berguna bagi leluhur kita – lebih baik keliru menangkap isyarat adanya predator daripada mengabaikan kucing besar kelaparan yang sungguh-sungguh ada. Tapi cobalah terapkan kecenderungan yang sama itu di dunia kaya informasi kita, dan yang akan kita lihat adalah kaitan yang tidak ada antara sebab dan akibat – teori konspirasi – di mana-mana.
Alasan lain mengapa kita begitu mudah percaya pada teori konspirasi adalah kita ini binatang sosial dan status kita dalam masyarakat jauh lebih penting (dari sebuah sudut pandang evolusioner) ketimbang kebenaran. Oleh karena itulah kita terus-menerus membandingkan perbuatan dan keyakinan kita dengan teman-teman sebaya kita, dan kemudian mengubah perbuatan dan keyakinan itu agar sesuai. Ini artinya jika kelompok sosial kita meyakini sesuatu, kita cenderung akan mengikuti kawanan kita.
Efek pengaruh sosial terhadap perilaku ini diperlihatkan dengan bagus pada 1961 oleh eksperimen ujung jalan, yang dilakukan oleh psikolog sosial AS Stanley Milgram (lebih dikenal karena penelitiannya tentang kepatuhan pada tokoh-tokoh otoritas) dan koleganya. Eksperimen ini cukup sederhana (dan menyenangkan) untuk Anda tiru. Pilih saja satu sudut jalan yang ramai dan tataplah langit selama 60 detik.
Besar kemungkinan banyak orang yang akan berhenti dan mencari tahu apa yang sedang Anda lihat – dalam situasi ini Milgram mendapati bahwa sekitar 4% orang yang lewat ikut bergabung dengannya. Nah, ajaklah beberapa teman untuk ikut Anda dalam obervasi hebat Anda itu. Ketika kelompok membesar, semakin banyak orang asing yang akan berhenti dan menatap ke atas. Ketika kelompok berkembang menjadi 15 orang yang menatap langit, sekitar 40% orang yang lewat akan berhenti dan menengadah bersama Anda. Hampir bisa dipastikan Anda akan melihat efek yang sama bekerja di pasar saat Anda tertarik mendatangi kios dengan kerumunan orang mengelilinginya.
(Baca juga: Timbul Pertanyaan Mengenai Asteroid Oumuamua, Batu atau Pesawat Alien?)
Prinsip ini berlaku sama kuatnya dengan gagasan. Jika lebih banyak orang percaya pada suatu informasi, semakin besar kemungkinannya kita menerimanya sebagai benar. Karena itu jika, melalui kelompok sosial kita, kita terlalu sering dihadapkan pada gagasan tertentu, gagasan itu akan tertanam dalam pandangan dunia kita. Pendek kata, pembuktian sosial adalah teknik persuasi yang jauh lebih efektif daripada pembuktian yang semata-mata didasarkan pada bukti, dan tentunya inilah sebabnya pembuktian macam ini begitu populer dalam periklanan (“80% ibu-ibu setuju ”).
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR