Saya sedang duduk di kereta api ketika sekelompok suporter sepak bola menghambur masuk. Baru saja pulang dari pertandingan — tim mereka jelas menang — mereka menempati kursi kosong di sekitar saya. Salah seorang dari mereka memungut surat kabar yang dibuang dan tertawa kecil mengejek ketika dia membaca tentang “fakta-fakta alternatif” yang dijajakan oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Yang lainnya segera nimbrung dengan pendapat mereka tentang kegemaran Presiden AS itu pada teori konspirasi. Obrolan itu dengan cepat beralih ke konspirasi-konspirasi lain dan saya menikmati dengan mencuri dengar ketika kelompok itu dengan brutalnya mencemooh flat Earthers (penganut paham bahwa Bumi ini datar), meme chemtrail dan gagasan terkini Gwyneth Paltrow.
Lalu hening menyela percakapan, dan seseorang memanfaatkan kesempatan untuk menyampaikan ini: “Mungkin saja itu omong kosong semua, tapi jangan coba-coba mengatakan kepadaku bahwa kalian percaya semua yang dijejalkan media mainstream kepada kita! Lihat saja pendaratan di Bulan, itu jelas palsu dan tipuan-tipuannya bahkan tidak bagus-bagus amat. Kemarin aku membaca blog ini yang menunjukkan bahkan tidak ada bintang-bintang di semua foto!”
Saya terheran-heran karena kelompok ini menerima “bukti” lain yang mendukung hoax pendaratan di Bulan: bayang-bayang tidak konsisten di foto-foto, bendera yang berkibar padahal tidak ada atmosfer di Bulan, bagaimana Neil Armstrong direkam dengan film sedang berjalan di permukaan sementara tidak ada siapa-siapa di sana yang memegang kamera.
Semenit yang lalu mereka tampak seperti orang-orang rasional yang mampu menilai bukti dan sampai pada kesimpulan logis. Tapi sekarang semuanya berbelok menyusuri lorong kegilaan. Saya pun ambil napas dalam-dalam dan memutuskan untuk nimbrung.
“Sebetulnya semuanya bisa dijelaskan dengan sangat mudah… ”
Mereka berpaling ke arah saya dengan pandangan kaget karena ada orang asing yang berani ikut campur dalam percakapan mereka. Saya maju terus, menghujani mereka dengan rentetan fakta dan penjelasan-penjelasan rasional.
Bendera itu tidak berkibar karena angin, ia hanya bergerak-gerak ketika astronot Buzz Aldrin menancapkannya di Bulan. Di sana tak ada angin. Wikipedia Mark Lorch, University of Hull
“Bendera itu tidak berkibar karena angin, ia hanya bergerak-gerak ketika Buzz Aldrin menancapkannya! Foto-foto diambil saat siang hari di Bulan – dan tentunya Anda tidak bisa melihat bintang-bintang di siang hari. Bayang-bayang aneh itu ada karena lensa dengan sudut sangat lebar yang mereka pakai mendistorsi foto. Dan tak seorang pun merekam film Neil menuruni anak tangga. Ada sebuah kamera terpasang di luar modul bulan yang merekamnya melakukan lompatan raksasanya. Jika ini tidak cukup, maka bukti final yang tak terbantahkan datang dari foto-foto situs pendaratan yang diambil Lunar Reconnaissance Orbiter. Di sana Anda bisa melihat dengan jelas jejak-jejak yang ditinggalkan para astronot ketika mereka menjelajahi permukaan bulan.”
“Beres!” kata saya dalam hati.
Tapi tampaknya para pendengar saya sama sekali tidak yakin. Mereka berpaling kepada saya, menyodorkan semakin banyak saja klaim-klaim menggelikan. Stanley Kubrick membuat banyak filmnya, tokoh-tokoh pentingnya meninggal dengan cara-cara misterius, dan lain sebagainya…
Kereta berhenti di sebuah stasiun, bukan tujuan saya sebetulnya, tapi saya mengambil kesempatan untuk keluar dari percakapan itu. Ketika memikirkan dengan canggung kesenjangan itu saya bertanya-tanya mengapa fakta-fakta yang saya sampaikan gagal total mengubah pikiran mereka.
(Baca juga: 7 Cara untuk Buktikan Bahwa Bumi Itu Bulat)
Jawaban sederhananya adalah fakta dan argumen rasional betul-betul tidak cukup bagus untuk mengubah keyakinan orang. Itu karena otak rasional kita dipasangi “kabel keras” evolusioner yang tidak begitu berkembang. Salah satu alasan mengapa teori konspirasi bermunculan begitu sering adalah keinginan kita untuk memberlakukan suatu struktur atas dunia dan kemampuan luar biasa untuk mengenali pola-pola. Bahkan, sebuah studi mutakhir menunjukkan adanya korelasi antara kebutuhan individual akan struktur dan kecenderungan untuk meyakini sebuah teori konspirasi.
Ambil deret berikut sebagai contoh:
0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1
Bisakah Anda melihat sebuah pola pada deret di atas? Sangat mungkin – dan Anda tidak sendirian. Sebuah jajak pendapat via Twitter cepat (meniru sebuah studi yang jauh lebih ketat) menunjukkan bahwa 56% orang sepakat dengan Anda – walaupun deret itu dihasilkan oleh koin yang saya lemparkan.
Hey twitter mind, I need your help.
Can you see a pattern here?0 0 1 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1
If so what is it?
— Prof Mark Lorch (@Mark_Lorch) August 15, 2017
Tampaknya kebutuhan kita akan struktur dan kemampuan mengenali pola kita bisa agak overactive, menimbulkan kecenderungan untuk menangkap pola-pola – seperti konstelasi, awan yang terlihat seperti anjing dan vaksin yang menyebabkan autisme – yang pada kenyataannya sama sekali tidak ada.
prapann/Shutterstock
Kemampuan melihat pola-pola boleh jadi merupakan karakteristik genetis kelangsungan hidup yang berguna bagi leluhur kita – lebih baik keliru menangkap isyarat adanya predator daripada mengabaikan kucing besar kelaparan yang sungguh-sungguh ada. Tapi cobalah terapkan kecenderungan yang sama itu di dunia kaya informasi kita, dan yang akan kita lihat adalah kaitan yang tidak ada antara sebab dan akibat – teori konspirasi – di mana-mana.
Alasan lain mengapa kita begitu mudah percaya pada teori konspirasi adalah kita ini binatang sosial dan status kita dalam masyarakat jauh lebih penting (dari sebuah sudut pandang evolusioner) ketimbang kebenaran. Oleh karena itulah kita terus-menerus membandingkan perbuatan dan keyakinan kita dengan teman-teman sebaya kita, dan kemudian mengubah perbuatan dan keyakinan itu agar sesuai. Ini artinya jika kelompok sosial kita meyakini sesuatu, kita cenderung akan mengikuti kawanan kita.
Efek pengaruh sosial terhadap perilaku ini diperlihatkan dengan bagus pada 1961 oleh eksperimen ujung jalan, yang dilakukan oleh psikolog sosial AS Stanley Milgram (lebih dikenal karena penelitiannya tentang kepatuhan pada tokoh-tokoh otoritas) dan koleganya. Eksperimen ini cukup sederhana (dan menyenangkan) untuk Anda tiru. Pilih saja satu sudut jalan yang ramai dan tataplah langit selama 60 detik.
Besar kemungkinan banyak orang yang akan berhenti dan mencari tahu apa yang sedang Anda lihat – dalam situasi ini Milgram mendapati bahwa sekitar 4% orang yang lewat ikut bergabung dengannya. Nah, ajaklah beberapa teman untuk ikut Anda dalam obervasi hebat Anda itu. Ketika kelompok membesar, semakin banyak orang asing yang akan berhenti dan menatap ke atas. Ketika kelompok berkembang menjadi 15 orang yang menatap langit, sekitar 40% orang yang lewat akan berhenti dan menengadah bersama Anda. Hampir bisa dipastikan Anda akan melihat efek yang sama bekerja di pasar saat Anda tertarik mendatangi kios dengan kerumunan orang mengelilinginya.
(Baca juga: Timbul Pertanyaan Mengenai Asteroid Oumuamua, Batu atau Pesawat Alien?)
Prinsip ini berlaku sama kuatnya dengan gagasan. Jika lebih banyak orang percaya pada suatu informasi, semakin besar kemungkinannya kita menerimanya sebagai benar. Karena itu jika, melalui kelompok sosial kita, kita terlalu sering dihadapkan pada gagasan tertentu, gagasan itu akan tertanam dalam pandangan dunia kita. Pendek kata, pembuktian sosial adalah teknik persuasi yang jauh lebih efektif daripada pembuktian yang semata-mata didasarkan pada bukti, dan tentunya inilah sebabnya pembuktian macam ini begitu populer dalam periklanan (“80% ibu-ibu setuju ”).
Pembuktian sosial hanyalah salah satu dari banyak sesat logika yang juga menyebabkan kita mengabaikan bukti. Isu yang terkait adalah bias konfirmasi yang selalu ada, yakni kecenderungan orang untuk mencari dan meyakini data yang mendukung pandangan-pandangan mereka seraya mengesampingkan yang tidak.
Kita semua mengidap bias ini. Cobalah ingat-ingat terakhir kali Anda menyimak perdebatan di radio atau televisi. Menurut Anda, seberapa meyakinkan argumen yang bertentangan dengan pandangan Anda dibandingkan dengan argumen yang sesuai dengan pandangan Anda?
Peluangnya adalah apa pun rasionalitas kedua belah pihak, Anda banyak menyingkirkan argumen-argumen lawan dan menyepakati yang sejalan dengan Anda. Bias konfirmasi juga mewujud sebagai kecenderungan untuk menyeleksi informasi dari sumber-sumber yang sudah sesuai dengan pandangan-pandangan Anda (yang barangkali berasal dari kelompok sosial yang terkait dengan kita juga). Dengan demikian keyakinan politik boleh jadi menentukan sumber-sumber berita yang Anda sukai.
Tentu saja ada sebuah sistem keyakinan yang mengakui sesat logika seperti bias konfirmasi dan berusaha merapikan semuanya. Sains, melalui pengulangan observasi, mengubah anekdot menjadi data, mengurangi bias konfirmasi dan menerima teori-teori yang bisa dimutakhirkan dengan bukti. Artinya, terbuka untuk mengoreksi teks-teks intinya. Biar bagaimanapun, bias konfirmasi menghinggapi kita semua. Fisikawan bintang Richard Feynman terkenal mendeskripsi contoh hal tersebut yang terjadi dalam salah satu bidang sains yang paling ketat, fisika partikel.
“(Robert Andrews) Millikan mengukur muatan listrik pada sebuah elektron dengan eksperimen meneteskan minyak dan mendapat jawaban yang kini kita tahu tidak sepenuhnya benar. Ada yang agak janggal, karena dia tidak tepat dalam menilai viskositas udara. Menarik sekali menilik sejarah ukuran muatan listrik elektron setelah Millikan. Jika Anda menandai ukuran-ukuran itu sebagai sebuah fungsi waktu, Anda dapati yang pertama sedikit lebih besar dari ukuran Millikan, yang berikutnya sedikit lebih besar dari yang sebelumnya, dan berikutnya lagi lebih besar dari sebelumnya, dan berikutnya sedikit lebih besar dari sebelum itu, sampai akhirnya ukuran-ukuran itu mencapai sebuah angka yang lebih tinggi.” “Mengapa dulu mereka tidak seketika mendapati bahwa angka yang baru itu lebih tinggi? Inilah yang memalukan para ilmuwan – dari sejarah ini – sebab tampak jelas bahwa orang bertindak seperti ini: Ketika mendapatkan angka yang terlalu tinggi di atas angka Millikan, mereka berpikir pasti ada yang salah dan mereka akan mencari tahu sampai menemukan alasan mengapa ada yang salah. Ketika mendapatkan angka yang lebih mendekati nilai Millikan, mereka tidak berusaha sekeras itu.”
Anda mungkin tergoda untuk mengambil contoh dari media populer dengan menangani miskonsepsi dan teori konspirasi melalui pendekatan pembasmian mitos. Menyebutkan mitos bersamaan dengan realitas tampaknya merupakan cara yang bagus untuk membandingkan fakta dan kepalsuan yang dijajarkan sehingga kebenaran akan muncul. Tapi ini pun ternyata adalah pendekatan yang buruk, tampaknya itu memancing sesuatu yang dikenal sebagai efek serangan balik, yakni mitos justru lebih diingat daripada fakta.
Salah satu contohnya yang paling mencolok terlihat dalam sebuah studi yang mengevaluasi selebaran “Mitos dan Fakta” tentang vaksin flu. Segera setelah membaca selebaran, para partisipan mengingat dengan akurat fakta sebagai fakta dan mitos sebagai mitos. Tapi 30 menit kemudian keadaannya berbalik total: mitos malah lebih diingat sebagai “fakta”.
Penjelasannya, sekadar menyebutkan mitos sesungguhnya sudah membantu mengukuhkan mitos. Kemudian, seiring waktu berlalu Anda lupa konteks saat mendengar mitos tersebut – dalam hal ini selama pembongkaran mitos – dan yang tersisa justru ingatan tentang mitos itu sendiri.
Yang membuat situasi semakin runyam, memberikan informasi korektif kepada kelompok dengan keyakinan teguh justru bisa memperkuat pandangan mereka, walau informasi baru itu meruntuhkannya. Bukti baru menciptakan inkonsistensi dalam keyakinan kita dan ketidaknyamanan emosional terkait. Bukannya memodifikasi keyakinan kita, kita justru cenderung memunculkan justifikasi diri dan, bahkan, rasa tidak suka semakin kuat terhadap teori-teori yang bertentangan, yang membuat kita semakin kukuh dengan pandangan-pandangan kita. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “efek bumerang ” – dan sungguh merupakan persoalan besar ketika mencoba meyakinkan orang pada perilaku yang lebih baik.
Misalnya, berbagai studi menunjukkan bahwa pesan-pesan informasi publik yang bertujuan mengurangi rokok, konsumsi alkohol dan narkoba semuanya menimbulkan efek yang sebaliknya.
Jadi, kalau Anda tidak bisa mengandalkan fakta, bagaimana Anda membuat orang membuang teori konspirasi atau gagasan-gagasan irasional mereka lainnya?
Literasi ilmiah barangkali akan menolong dalam jangka panjang. Yang saya maksud dengan literasi ilmiah bukanlah membiasakan dengan fakta-fakta ilmiah, angka-angka, dan teknik. Yang diperlukan justru literasi dalam metode ilmiah, seperti pemikiran analitis. Bahkan, berbagai studi menunjukkan bahwa menyingkirkan teori konspirasi berkaitan dengan pemikiran yang lebih analitis. Kebanyakan orang tidak akan menggeluti sains, tapi kita bertemu dengan sains dan menggunakannya setiap hari dan karena itu masyarakat membutuhkan kecakapan untuk menilai secara kritis klaim-klaim ilmiah.
Tentu saja, mengubah kurikulum suatu negara tidak akan membantu argumen saya di kereta itu. Berkenaan dengan pendekatan yang lebih langsung, penting untuk disadari bahwa menjadi bagian suatu suku akan sangat menolong. Sebelum mulai mengkhotbahkan pesan, carilah beberapa kesamaan.
Sedangkan untuk menghindari efek serangan balik, abaikan mitos. Menyebutnya saja jangan, jangan pula mengakuinya. Sampaikan saja poin-poin pokoknya: vaksin itu aman dan mengurangi peluang terserang flu sebanyak 50% sampai 60%, selasai soal. Jangan sebut-sebut miskonsepsi, karena cenderung itulah yang akan lebih diingat.
Di samping itu, jangan memancing kemarahan lawan dengan menggugat pandangan dunia mereka. Sampaikan saja penjelasan yang selaras dengan keyakinan terdahulu mereka. Misalnya, para penyangkal perubahan iklim konservatif jauh lebih besar kemungkinannya menggeser pandangan mereka jika mereka juga disodori peluang-peluang bisnis pro-lingkungan hidup.
Satu saran lagi. Gunakan cerita untuk menyampaikan maksud Anda. Orang terlibat jauh lebih intens dengan narasi daripada dengan dialog-dialog argumentatif atau deskriptif. Cerita yang menghubungkan sebab dan akibat menjadikan kesimpulan yang hendak Anda sampaikan tampak nyaris tak terhindarkan.
Semua ini tidak lantas menjadikan fakta dan konsensus ilmiah tidak penting. Keduanya sangat penting. Tapi kesadaran tentang kekurangan dalam pemikiran kita memungkinkan Anda menyampaikan maksud dengan cara yang jauh lebih meyakinkan.
(Baca juga: Mengapa Pertemuan Pertama Kami dengan Alien Dapat Segera Terjadi)
Sangat penting bagi kita untuk menggugat dogma, tapi daripada mengaitkan titik-titik yang tidak ada hubungannya dan menghasilkan teori konspirasi lebih baik kita menuntut bukti dari para pembuat keputusan. Mintalah data yang dapat mendukung suatu keyakinan dan carilah informasi untuk mengujinya. Termasuk bagian dari proses itu adalah mengakui naluri bias, keterbatasan dan kesesatan logika kita sendiri.
Kira-kira bagaimana percakapan saya di kereta kalau saya mematuhi saran saya sendiri… Mari kembali ke momen ketika saya melihat segala sesuatunya membelok ke lorong absurditas. Kali ini, saya mengambil napas dalam-dalam dan nimbrung.
“Eh, bagaimana pertandingannya? Sayang sekali saya tidak dapat tiket.”
Segera saja kami larut dalam perbincangan ketika membahas peluang tim untuk musim ini. Setelah beberapa menit mengobrol saya berpaling pada si penganut teori konspirasi pendaratan di Bulan, “Oh, saya baru saja memikirkan apa yang Anda katakan tentang pendaratan di Bulan. Bukankah matahari terlihat dalam beberapa foto?”
Dia mengangguk.
“Artinya saat itu siang di Bulan. Persis seperti di Bumi ini, apakah Anda pikir bisa melihat bintang?”
“Betul juga ya. Itu tak terpikirkan oleh saya. Mungkin blog itu memang tidak benar.”
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR