Tentu saja, mengubah kurikulum suatu negara tidak akan membantu argumen saya di kereta itu. Berkenaan dengan pendekatan yang lebih langsung, penting untuk disadari bahwa menjadi bagian suatu suku akan sangat menolong. Sebelum mulai mengkhotbahkan pesan, carilah beberapa kesamaan.
Sedangkan untuk menghindari efek serangan balik, abaikan mitos. Menyebutnya saja jangan, jangan pula mengakuinya. Sampaikan saja poin-poin pokoknya: vaksin itu aman dan mengurangi peluang terserang flu sebanyak 50% sampai 60%, selasai soal. Jangan sebut-sebut miskonsepsi, karena cenderung itulah yang akan lebih diingat.
Di samping itu, jangan memancing kemarahan lawan dengan menggugat pandangan dunia mereka. Sampaikan saja penjelasan yang selaras dengan keyakinan terdahulu mereka. Misalnya, para penyangkal perubahan iklim konservatif jauh lebih besar kemungkinannya menggeser pandangan mereka jika mereka juga disodori peluang-peluang bisnis pro-lingkungan hidup.
Satu saran lagi. Gunakan cerita untuk menyampaikan maksud Anda. Orang terlibat jauh lebih intens dengan narasi daripada dengan dialog-dialog argumentatif atau deskriptif. Cerita yang menghubungkan sebab dan akibat menjadikan kesimpulan yang hendak Anda sampaikan tampak nyaris tak terhindarkan.
Semua ini tidak lantas menjadikan fakta dan konsensus ilmiah tidak penting. Keduanya sangat penting. Tapi kesadaran tentang kekurangan dalam pemikiran kita memungkinkan Anda menyampaikan maksud dengan cara yang jauh lebih meyakinkan.
(Baca juga: Mengapa Pertemuan Pertama Kami dengan Alien Dapat Segera Terjadi)
Sangat penting bagi kita untuk menggugat dogma, tapi daripada mengaitkan titik-titik yang tidak ada hubungannya dan menghasilkan teori konspirasi lebih baik kita menuntut bukti dari para pembuat keputusan. Mintalah data yang dapat mendukung suatu keyakinan dan carilah informasi untuk mengujinya. Termasuk bagian dari proses itu adalah mengakui naluri bias, keterbatasan dan kesesatan logika kita sendiri.
Kira-kira bagaimana percakapan saya di kereta kalau saya mematuhi saran saya sendiri… Mari kembali ke momen ketika saya melihat segala sesuatunya membelok ke lorong absurditas. Kali ini, saya mengambil napas dalam-dalam dan nimbrung.
“Eh, bagaimana pertandingannya? Sayang sekali saya tidak dapat tiket.”
Segera saja kami larut dalam perbincangan ketika membahas peluang tim untuk musim ini. Setelah beberapa menit mengobrol saya berpaling pada si penganut teori konspirasi pendaratan di Bulan, “Oh, saya baru saja memikirkan apa yang Anda katakan tentang pendaratan di Bulan. Bukankah matahari terlihat dalam beberapa foto?”
Dia mengangguk.
“Artinya saat itu siang di Bulan. Persis seperti di Bumi ini, apakah Anda pikir bisa melihat bintang?”
“Betul juga ya. Itu tak terpikirkan oleh saya. Mungkin blog itu memang tidak benar.”
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR