Pembuktian sosial hanyalah salah satu dari banyak sesat logika yang juga menyebabkan kita mengabaikan bukti. Isu yang terkait adalah bias konfirmasi yang selalu ada, yakni kecenderungan orang untuk mencari dan meyakini data yang mendukung pandangan-pandangan mereka seraya mengesampingkan yang tidak.
Kita semua mengidap bias ini. Cobalah ingat-ingat terakhir kali Anda menyimak perdebatan di radio atau televisi. Menurut Anda, seberapa meyakinkan argumen yang bertentangan dengan pandangan Anda dibandingkan dengan argumen yang sesuai dengan pandangan Anda?
Peluangnya adalah apa pun rasionalitas kedua belah pihak, Anda banyak menyingkirkan argumen-argumen lawan dan menyepakati yang sejalan dengan Anda. Bias konfirmasi juga mewujud sebagai kecenderungan untuk menyeleksi informasi dari sumber-sumber yang sudah sesuai dengan pandangan-pandangan Anda (yang barangkali berasal dari kelompok sosial yang terkait dengan kita juga). Dengan demikian keyakinan politik boleh jadi menentukan sumber-sumber berita yang Anda sukai.
Tentu saja ada sebuah sistem keyakinan yang mengakui sesat logika seperti bias konfirmasi dan berusaha merapikan semuanya. Sains, melalui pengulangan observasi, mengubah anekdot menjadi data, mengurangi bias konfirmasi dan menerima teori-teori yang bisa dimutakhirkan dengan bukti. Artinya, terbuka untuk mengoreksi teks-teks intinya. Biar bagaimanapun, bias konfirmasi menghinggapi kita semua. Fisikawan bintang Richard Feynman terkenal mendeskripsi contoh hal tersebut yang terjadi dalam salah satu bidang sains yang paling ketat, fisika partikel.
“(Robert Andrews) Millikan mengukur muatan listrik pada sebuah elektron dengan eksperimen meneteskan minyak dan mendapat jawaban yang kini kita tahu tidak sepenuhnya benar. Ada yang agak janggal, karena dia tidak tepat dalam menilai viskositas udara. Menarik sekali menilik sejarah ukuran muatan listrik elektron setelah Millikan. Jika Anda menandai ukuran-ukuran itu sebagai sebuah fungsi waktu, Anda dapati yang pertama sedikit lebih besar dari ukuran Millikan, yang berikutnya sedikit lebih besar dari yang sebelumnya, dan berikutnya lagi lebih besar dari sebelumnya, dan berikutnya sedikit lebih besar dari sebelum itu, sampai akhirnya ukuran-ukuran itu mencapai sebuah angka yang lebih tinggi.” “Mengapa dulu mereka tidak seketika mendapati bahwa angka yang baru itu lebih tinggi? Inilah yang memalukan para ilmuwan – dari sejarah ini – sebab tampak jelas bahwa orang bertindak seperti ini: Ketika mendapatkan angka yang terlalu tinggi di atas angka Millikan, mereka berpikir pasti ada yang salah dan mereka akan mencari tahu sampai menemukan alasan mengapa ada yang salah. Ketika mendapatkan angka yang lebih mendekati nilai Millikan, mereka tidak berusaha sekeras itu.”
Anda mungkin tergoda untuk mengambil contoh dari media populer dengan menangani miskonsepsi dan teori konspirasi melalui pendekatan pembasmian mitos. Menyebutkan mitos bersamaan dengan realitas tampaknya merupakan cara yang bagus untuk membandingkan fakta dan kepalsuan yang dijajarkan sehingga kebenaran akan muncul. Tapi ini pun ternyata adalah pendekatan yang buruk, tampaknya itu memancing sesuatu yang dikenal sebagai efek serangan balik, yakni mitos justru lebih diingat daripada fakta.
Salah satu contohnya yang paling mencolok terlihat dalam sebuah studi yang mengevaluasi selebaran “Mitos dan Fakta” tentang vaksin flu. Segera setelah membaca selebaran, para partisipan mengingat dengan akurat fakta sebagai fakta dan mitos sebagai mitos. Tapi 30 menit kemudian keadaannya berbalik total: mitos malah lebih diingat sebagai “fakta”.
Penjelasannya, sekadar menyebutkan mitos sesungguhnya sudah membantu mengukuhkan mitos. Kemudian, seiring waktu berlalu Anda lupa konteks saat mendengar mitos tersebut – dalam hal ini selama pembongkaran mitos – dan yang tersisa justru ingatan tentang mitos itu sendiri.
Yang membuat situasi semakin runyam, memberikan informasi korektif kepada kelompok dengan keyakinan teguh justru bisa memperkuat pandangan mereka, walau informasi baru itu meruntuhkannya. Bukti baru menciptakan inkonsistensi dalam keyakinan kita dan ketidaknyamanan emosional terkait. Bukannya memodifikasi keyakinan kita, kita justru cenderung memunculkan justifikasi diri dan, bahkan, rasa tidak suka semakin kuat terhadap teori-teori yang bertentangan, yang membuat kita semakin kukuh dengan pandangan-pandangan kita. Inilah yang kemudian dikenal sebagai “efek bumerang ” – dan sungguh merupakan persoalan besar ketika mencoba meyakinkan orang pada perilaku yang lebih baik.
Misalnya, berbagai studi menunjukkan bahwa pesan-pesan informasi publik yang bertujuan mengurangi rokok, konsumsi alkohol dan narkoba semuanya menimbulkan efek yang sebaliknya.
Jadi, kalau Anda tidak bisa mengandalkan fakta, bagaimana Anda membuat orang membuang teori konspirasi atau gagasan-gagasan irasional mereka lainnya?
Literasi ilmiah barangkali akan menolong dalam jangka panjang. Yang saya maksud dengan literasi ilmiah bukanlah membiasakan dengan fakta-fakta ilmiah, angka-angka, dan teknik. Yang diperlukan justru literasi dalam metode ilmiah, seperti pemikiran analitis. Bahkan, berbagai studi menunjukkan bahwa menyingkirkan teori konspirasi berkaitan dengan pemikiran yang lebih analitis. Kebanyakan orang tidak akan menggeluti sains, tapi kita bertemu dengan sains dan menggunakannya setiap hari dan karena itu masyarakat membutuhkan kecakapan untuk menilai secara kritis klaim-klaim ilmiah.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR