Ketimpangan sedang mengalami peningkatan hampir di mana-mana di seluruh dunia—inilah temuan gamblang dari World Inequality Report yang pertama. Ketimpangan terutama tumbuh paling pesat di Rusia, India, dan Cina—negara-negara di mana ketimpangan sudah lama ditengarai tetapi tak banyak data akurat untuk menyajikan sebuah gambaran yang dapat diandalkan.
Sebelumnya, sebetulnya sangat sulit membandingkan ketimpangan di kawasan-kawasan berbeda di dunia karena langka dan tidak konsistennya data. Sebagai upaya mengatasi kesenjangan ini, Laporan Ketimpangan Dunia yang baru ini dibuat berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan oleh lebih dari 100 peneliti yang berada di setiap benua dan menyumbang data bagi World Wealth and Income Database (Basis Data Kekayaan dan Pendapatan Dunia).
Eropa adalah wilayah yang paling tidak timpang di dunia, setelah mengalami sedikit peningkatan dalam ketimpangan. Di paruh bawah tabel terdapat Afrika Sub-Sahara, Brasil, dan India, dengan Timur Tengah sebagai kawasan yang paling timpang.
Sejak tahun 1980, laporan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan ketimpangan sedang berlangsung dengan kecepatan berlainan di sebagian besar kawasan dunia. Ini diukur dari 10% teratas distribusi pendapatan—berapa banyak dari total pendapatan sebuah negara yang dimiliki 10% orang terkaya negara tersebut.
Tempat-tempat di mana ketimpangan tetap stabil adalah tempat-tempat di mana ketimpangan sudah berada di tingkat yang sangat tinggi. Sejalan dengan tren ini, kami amati bahwa Timur Tengah barangkali adalah kawasan yang paling timpang, di mana 10% teratas penerima penghasilan terus-menerus meraih lebih dari 60% pendapatan negara.
Di Eropa sekali pun, di mana ketimpangan tidak terlalu mencolok, masalah kesetaraan selalu memunculkan keprihatinan etis. Misalnya, di Eropa Barat, banyak orang yang tidak menerima upah hidup riil (real living wage), walaupun sudah bekerja keras, sering kali dalam pekerjaan purna waktu.
Tambahan pula, data menunjukkan bahwa 10% teratas penerima penghasilan di Eropa secara keseluruhan masih menguasai 37% total pendapatan nasional pada tahun 2016.
Meningkatnya ketimpangan penghasilan harus menjadi fokus bagi perdebatan publik karena hal itu juga merupakan faktor yang memotivasi perilaku manusia. Hal itu mempengaruhi cara kita mengonsumsi, menabung, dan berinvestasi. Bagi banyak orang, hal itu menentukan apakah seseorang bisa atau tidak mengakses pasar kredit atau sekolah yang baik bagi anak-anak kita
Hal tersebut, selanjutnya, bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan mengundang pertanyaan apakah masyarakat yang timpang itu efisien secara ekonomi.
Mendalami detail tentang apa yang mendorong peningkatan ketimpangan penghasilan, laporan tersebut menunjukkan bahwa timpangnya kepemilikan kekayaan nasional merupakan sebuah masalah yang penting. Kekayaan nasional bisa dimiliki secara publik (misalnya, nilai sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur publik) maupun dimiliki secara privat (nilai aset pribadi).
Sejak tahun 1980, transfer sangat besar kekayaan publik ke kekayaan pribadi terjadi di hampir semua negara, entah itu negara kaya atau yang sedang berkembang. Walaupun kekayaan nasional meningkat secara substansial, kekayaan publik sekarang berada pada posisi negatif atau mendekati nol di negara-negara kaya. Secara khusus, Inggris dan Amerika Serikat adalah negara dengan tingkat modal publik terendah.
Bisa dikatakan, hal tersebut membatasi kemampuan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan. Tentu saja hal itu membawa implikasi penting bagi ketimpangan kekayaan di kalangan warga negara. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kebijakan nasional tentang kepemilikan modal sudah menjadi faktor utama peningkatan ketimpangan sejak tahun 1980.
Perekonomian yang kaya sumber daya alam lazimnya dianggap rentan terhadap konflik atau lebih otoriter dalam cara perekonomian itu ditangani. Laporan baru ini juga menyatakan bahwa beberapa perekonomian yang kaya dari sumber daya alam, seperti “perekonomian minyak”, juga sangat timpang. Hal ini sudah diduga sebelumnya karena sumber daya alam sering terpusat di tangan segelintir. Namun, sebelum adanya laporan ini tidak ada bukti yang jelas soal itu.
The World Inequality Report menunjukkan kepada kita bahwa kawasan Timur Tengah mungkin malah lebih timpang daripada Amerika Tengah dan Selatan, yang lama dianggap termasuk tempat yang paling timpang di muka di Bumi.
Temuan signifikan lainnya adalah negara-negara yang berada dalam tahap perkembangan yang sama mengalami pola-pola berbeda dalam meningkatnya ketimpangan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan dan lembaga-lembaga nasional berpengaruh. Arah tiga perekonomian besar yang sedang beranjak menjadi maju memberikan gambaran soal ini. Rusia mengalami peningkatan mendadak, Cina menempuh laju moderat, dan India peningkatannya bertahap.
Perbandingan antara Eropa dan Amerika Serikat bahkan memberikan contoh yang lebih mencolok—Eropa Barat tetap menjadi tempat bagi konsentrasi terendah pendapatan nasional di antara 10% teratas penerima penghasilan.
Dibandingkan dengan Amerika Serikat, divergensi ketimpangannya spektakuler. Di kedua kawasan tersebut pada 1980, 1% teratas menguasai hampir 10% porsi pendapatan. Porsi itu hanya naik sedikit menjadi 12% pada tahun 2016 di Eropa Barat, tetapi melonjak hingga 20% di Amerika Serikat. Ini bisa membantu menjelaskan terjadinya peningkatan populisme. Mereka yang tertinggal semakin hilang kesabaran ketika mereka tidak melihat satu pun perbaikan yang tampak (atau bahkan memburuk) dalam kondisi kehidupan mereka.
Mengurangi ketimpangan agar masyarakat menjadi lebih adil tidak hanya penting untuk dilakukan. Masyarakat yang setara erat hubungannya dengan hasi-hasil penting lainnya. Sama seperti stabilitas politik dan sosial, stabilitas pendidikan, kejahatan, dan keuangan mungkin akan terganggu ketika ketimpangan tinggi.
Dengan data baru di depan mata, sekarang kita bisa bertindak untuk belajar dari kebijakan-kebijakan di kawasan yang lebih setara dan menerapkannya untuk mengurangi ketimpangan di seluruh dunia.
Antonio Savoia, Lecturer in Development Economics, University of Manchester
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR