Nationalgeographic.co.id—Saat ini, Asia Tenggara adalah pusat produksi minyak sawit global—dengan Indonesia dan Malaysia yang berjasa dalam memproduksi sekitar 85% dari pasokan minyak sawit dunia.
Namun, kelapa sawit baru tiba di Asia Tenggara pada tahun 1848, ketika ahli botani Belanda mulai menanam empat bibit di kebun raya di Bogor (saat itu dikenal dengan Buitenzorg) di pulau Jawa, Jawa Barat, Indonesia.
Sebagian besar perkembangan awal kelapa sawit di perkebunan Asia Tenggara, dikaitkan dengan pengusaha Belgia, Adrien Hallet, yang telah memperoleh pengalaman dalam budidaya industri melalui perdagangan karet di Kongo.
"Hallet memperhatikan bahwa pohon palem hias Indonesia menghasilkan lebih banyak buah daripada di Afrika," tulis Josie Phillips kepada China Dialogue.
Ia menulisnya dalam artikel berjudul An illustrated history of industrial palm oil, yang dipublikasikan pada 18 Februari 2021.
Baca Juga: Permulaan Industri Kelapa Sawit, Kolonialisme Britania di Afrika Barat
Percaya bahwa kondisi tanah harus ideal untuk bercocok tanam, ia mulai membangun perkebunannya sendiri. Dia mendirikan perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia di Poeloe Radja di Sumatra pada tahun 1911.
Kemudian pada tahun 1917, dia membantu dua ahli perkebunan Prancis dalam mengembangkan perkebunan komersial pertama Malaysia di Selangor.
Investor asing mengambil keuntungan dari kebijakan 'open-door' dan pada tahun 1936, Sumatra telah melampaui Nigeria dalam ekspor minyak sawit.
Ketika permintaan karet alam—tanaman perkebunan utama lainnya di wilayah Sumatra—menurun setelah perang dunia pertama, minyak sawit memberikan pilihan yang sangat baik sebagai diversifikasi.
"Perusahaan perkebunan, seperti Guthrie, Barlow, dan perusahaan Hallet Socfin, menggunakan kembali infrastruktur karet yang ada untuk budidaya kelapa sawit," terang Phillips.
Hal terpenting adalah perusahaan-perusahaan ini meletakkan dasar bagi pertanian kelapa sawit intensif di wilayah kolonial.
Pada saat perang dunia kedua pecah pada tahun 1939, ada lebih dari 100.000 hektare perkebunan di Indonesia dan Malaysia—dengan Socfin dan Guthrie menguasai lebih dari 50% pasokan minyak sawit global.
Baca Juga: Penyebab Banjir: Beralihnya Lahan Hutan Menjadi Kebun Sawit dan Karet
Industri minyak sawit di kawasan Sumatra dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia, memburuk selama perang dunia kedua, dengan pusat perdagangan utama, seperti Singapura dan Malaka, di bawah pendudukan Jepang.
Kemunduran itu terjadi lantaran infrastruktur yang mendukung pasokan minyak sawit tersendat. Administrator kolonial meninggalkan pos mereka atau ditahan, rute perdagangan diblokir dan perkebunan menghadapi kekurangan tenaga kerja.
"Sepanjang periode ekspansi kolonial di Asia Tenggara, biaya yang ditanggung masyarakat adat dan lokal tinggi. Orang-orang mengalami pemaksaan sistem kolonial, termasuk kerja paksa dan perampasan tanah leluhur mereka," terusnya.
Ratusan ribu imigran dari Cina Selatan dan India juga dieksploitasi, diarahkan ke perkebunan milik asing di sekitar Malaysia dan Indonesia. Yang disebut "kuli" dipekerjakan melalui suatu kontrak.
"Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, itu mencerminkan kebangkitan nasionalisme," jelasnya.
Di bawah kebijakan ekonomi Presiden Sukarno yang semakin radikal, banyak perkebunan milik asing kehilangan dukungan pemerintah. Bahkan ada perusahaan asing yang menjadi sasaran serangan saat kerusuhan pasca-proklamasi kemerdekaan.
Kasus di Malaysia cukup berbeda. Setelah perang dunia kedua, Kementerian Pangan Inggris berkomitmen untuk hanya membeli pasokan minyak sawit dari Malaysia, yang mendukung pemulihan sektor minyak sawit negara itu.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1957, pemerintah baru Malaysia tetap mendukung investasi asing. Menggunakan minyak kelapa sawit untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Sepanjang tahun 1960-an, situasi politik yang memburuk di Afrika Barat pascakolonial menyebabkan penurunan ekspor minyak sawit, sementara industri minyak sawit Asia Tenggara terus berkembang pesat.
Setelah transisi Indonesia ke Orde Baru Suharto pada pertengahan 1960-an , pemerintah mulai mendukung penuh perusahaan asing dan investasi dalam pengembangan kelapa sawit.
Pada 1970-an, sekitar 150.000 hektar perkebunan telah dikembangkan di negara ini. Dengan investasi lebih lanjut dari Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, jumlah ini tumbuh menjadi 600.000 hektare pada tahun 1985.
Source | : | China Dialogue |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR