Ketika bintang – bintang yang sangat masif mengakhiri hidupnya dan meledak sebagai supernova, akan ada reruntuhan bintang yang tersisa serta lubang hitam dan bintang neutron.
Sisa bintang inilah yang kemudian memancarkan sinar-X dan memanaskan gas yang ada di sekelilingnya. Ketika gas sudah lebih panas dibanding temperatur radiasi latar belakang, sinyal absorpsi pun akan berakhir. Sinyal radio yang diterima memberi indikasi kejadian ini terjadi 270 juta tahun setelah Dentuman Besar.
Pengaruh Materi Gelap
Ada kejutan lain. Sinyal radio yang dideteksi EDGES memperlihatkan terjadinya penguatan yang sangat signifikan. Setidaknya dua kali lebih kuat dari yang diharapkan.
Penguatan ini memberi indikasi kalau gas hidrogen mengabsorpsi lebih banyak radiasi latar belakang dari yang diduga atau dimodelkan oleh para astronom. Ada dua kemungkinan yang bisa menjelaskan kejadian ini. Yang pertama adalah temperatur gas hidrogen yang sangat dingin atau temperatur radiasi latar belakang yang lebih panas.
Kemungkinan pertama yang jadi pertimbangan. Alam semesta pada masa itu lebih dingin dari – 270ºC.
Baca juga: Tesla, Mobil Berisi Segudang Bakteri Bumi yang Mengancam Planet Mars
Tersangka utama yang mendinginkan gas hidrogen: Materi Gelap.
Materi misterius yang satu ini merupakan materi yang mendominasi alam semesta. Tapi, materi gelap tidak memancarkan atau menyerap cahaya. Materi yang satu ini hanya bisa dideteksi melalui pengaruh gravitasi yang ditimbulkan pada materi normal.
Materi gelap yang ada pada alam semesta dini menghisap energi gas hidrogen dan mendinginkan gas tersebut. Jika dugaan ini benar, maka massa partikel materi gelap seharusnya lebih ringan dari massa interaksi lemah dari partikel-partikel masif. Atau kurang dari atom hidrogen yang lima kali lebih masif.
Penemuan ini merupakan terobosan penting dalam dunia astronomi. Akan tetapi, informasi dari sinyal yang lemah di alam semesta memberi indikasi keraguan bagi sebagian astronom.
Pengujian selama dua tahun sudah dilakukan oleh tim yang dipimpin Judd D. Bowman dari School of Earth and Space Exploration, Arizona State University. Para astronom ini melakukan akuisisi data berulang dan analisis dengan antena kedua pada lokasi yang sama dengan sudut berbeda.
Hasilnya, sinyal radio yang mereka terima dengan antena radio kecil itu bukan merupakan sinyal yang salah. Akan tetapi, tentu saja konfirmasi dengan instrumen lain seperti Hydrogen Epoch of Reionization Array di Afrika Selatan sangat dibutuhkan untuk mengungkap kisah fajar kosmis saat alam semesta kita masih sangat muda.
Artikel ini telah terbit di Langitselatan.com. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR