Nationalgeographic.co.id - Percaya atau tidak? Sebagian besar dari kita mungkin memiliki pengetahuan keliru soal HIV dan AIDS. Buktinya, sebuah penelitian yang diterbitkan di BMC Public Health mengungkapkan, hampir separuh dari 2.000 responden memiliki pengetahuan yang salah tentang penularan HIV dan AIDS. Parahnya, sebagian besar adalah pria. Karena itu juga, harus disadari bahwa risiko penyebaran HIV masih besar.
Dikutip dari laman Men's Health, HIV berbahaya karena menyerang sistem kekebalan tubuh. “HIV membunuh jenis sel kekebalan tertentu yang disebut sel T CD4, yang akhirnya membuat kita rentan terkena infeksi dan kanker,” ungkap Stacey Rizza, seorang spesialis penyakit menular di Mayo Clinic.
Jika tidak diobati, HIV dapat berkembang menjadi AIDS, yang justru makin memperparah. Berikut adalah enam hal yang mungkin jarang diketahui tentang risiko penularan HIV.
(Artikel terkait: Apa Beda antara HIV dan AIDS?)
1. HIV tidak membeda-bedakan "korban"
Tak peduli apakah LGBT atau bukan, setiap orang dapat terinfeksi virus tersebut. “Ini masih sangat umum, sayangnya, pada pria yang berhubungan seks dengan pria, dan populasi itu terus berada pada risiko tertinggi untuk HIV,” kata dia. "Namun, intinya, semua orang juga berisiko," tegas dia. Karena itu, Rizza selalu menyarankan menggunakan kondom saat berhubungan seksual.
2. Tidak memiliki gejala bukan berarti bebas HIV
Tidak merasa sakit? Banyak orang HIV pun demikian. Rizza mengatakan, beberapa orang yang terinfeksi HIV memang ada yang merasa seperti flu, pilek, tapi ada juga yang tidak merasa sama sekali. "Orang dapat hidup dengan HIV selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun tanpa mengetahui bahwa mereka terinfeksi," kata dia.
Karena itu, penting untuk menguji HIV. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) merekomendasikan setiap orang yang berusia 13-64 mendapat tes HIV setidaknya sekali dalam hidup mereka. Dan bagi LGBT disarankan untuk menguji satu tahun sekali.
(Artikel terkait: 3BNC117, Obat Pertama Pembunuh Sel HIV)
3. Kurangi dampak
Orang berisiko tinggi biasanya adalah mereka yang berhubungan seks dengan penderita HIV. Rizza menyarankan untuk masing-masing mengasup dua obat HIV setiap hari. Hal ini dilakukan untuk mengurangi dampak virus HIV. Bahkan, pengurangan risikonya mencapai 90 persen jika rutin diasup.
4. Sunat menurunkan risiko terinfeksi HIV
HIV setidaknya perlu dua reseptor khusus--CD4 dan kemokin--untuk masuk ke dalam sel. Dan dari semua triliunan sel di tubuh, hanya jenis sel tertentu yang memiliki reseptor tersebut. Salah satunya disebut sel dendritik. "Kulup penis memiliki sel dendritik banyak, jadi kalau kamu masih memiliki kulup, maka banyak sel yang dapat terinfeksi dan mengambil HIV," kata dia.
5. Infeksi menular seksual (IMS) meningkatkan risiko penularan
Mengidap IMS lain, seperti kencing nanah, klamidia, sifilis, HPV, atau herpes, meningkatkan risiko HIV. "Setiap jenis kerusakan pada mukosa atau kulit dapat membuatnya lebih rentan bagi virus untuk masuk," kata Rizza.
Bahkan, jika tidak memiliki luka atau gejala yang terlihat, IMS dapat meningkatkan peradangan, meningkatkan jumlah sel yang dapat ditargetkan HIV. Orang yang terinfeksi HIV memiliki risiko menginfeksi orang lain lebih besar, karena peningkatan konsentrasi HIV dalam cairan sperma atau kelamin.
(Baca juga: Kisah 'Walanda Sunda di Kampung Albino Ciburuy)
6. Dapat terinfeksi bukan dari seks saja
"Seks anal dan vaginal adalah dua cara utama penularan HIV," kata Rizza. Namun, keduanya bukan satu-satunya cara penularan. Memang, berbagi sendok, tempat duduk toilet, berjabat tangan, atau berciuman tidak akan menularkan HIV. Namun, segala jenis transmisi darah atau cairan tubuh, seperti tato, berbagi jarum suntik, seks oral, dan bahkan dari ibu ke anak adalah mungkin. Meskipun risikonya jauh lebih rendah.
"Hubungan seks anal adalah risiko tertinggi, hubungan seksual berikutnya, dan kemudian oral," kata dia. CDC mengatakan hingga kini di AS memang belum ada catatan korban yang terinfeksi HIV karena tato, tetapi hal itu tetap penting untuk diwaspadai.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com. Baca artikel sumber.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR