Nationalgeographic.co.id—Sejak abad ke-19 di Vorstenlanden, perkebunan tebu dan industri tebu menemukan gairahnya. Sebagian perkebunan dan pabrik gula itu milik Mangkunegaran.
Pengaruhnya sampai ke wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Mangkunegara IV menginisiasi untuk mengeksploitasi lahan milik Keraton Mangkunegaran untuk dibangun perkebunan tebu dan perindustriannya.
Pabrik gula pertama yang dibangun oleh Mangkunegara IV adalah Pabrik Gula Colomadu pada tahun 1861, disusul pembangunan pabrik gula kedua tahun 1871 yang diberi nama Pabrik Gula Tasikmadu.
"Terjadi reorganisasi agraria di Mangkunegaran yang secara resmi dilakukan tahun 1917-1926, membawa perubahan tentang hak kepemilikan dan penguasaan tanah," ungkap Wasino, profesor di bidang Ilmu Sejarah dari Universitas Negeri Semarang.
Dampak reorganisasi agraria bagi pabrik gula Tasikmadu yaitu sulitnya mencari lahan persewaan tanah untuk perkebunan tebu. Bekel yang telah menerima tanah bengkok-nya enggan menyewakan tanah kepada pabrik gula.
Meski mengalami kesulitan di masa reorganisasi agraria, industri PG (Pabrik Gula) Tasikmadu menemukan puncak kesuksesannya sekitar tahun 1928-1929.
Rantikah dalam risetnya tentang Pabrik Gula Tasikmadu, ditulisnya kepada jurnal Mozaik. Jurnalnya berjudul Dinamika Pabrik Gula Tasikmadu di Mangkunegaran Tahun 1917-1935, publikasi 2021.
Menurutnya, kesuksesan PG Tasikmadu beriringan dengan perluasan areal perkebunan, perbaikan irigasi, penggunaan bibit unggul, menambah dan memperbaiki mesin-mesin pabrik.
Berbeda dengan kisah penuh duka dan pilu di pabrik-pabrik gula yang didirikan Belanda, pabrik gula yang didirikan Mangkunegaran menyimpan kisah manis dan dikenang masyarakatnya, utamanya di wilayah Karanganyar.
"Sebagian keuntungan dari laba pabrik gula, disisihkan untuk sebuah dana yang akan digunakan untuk kepentingan rakyat yang tinggal di sekitar pabrik gula. Dana tersebut merupakan dana penduduk (Bevolkingfonds)," imbuh Rantikah.
Pada saat krisis malaise melanda dunia sejak 1880, dampaknya telah tercium hingga ke Jawa. PG Tasikmadu turut terdampak, di mana dilakukan pembatasan penanaman tebu, dan waktu penanaman tebu.
Baca Juga: Zaman Hindia Belanda, Pabrik Gula Dorong Kemajuan Infrastruktur Klaten
Akibat pembatasan penanaman, pada akhirnya terjadi penurunan jumlah penggunaan lahan, maka lahan yang tidak digunakan kemudian disewakan untuk tanaman pangan. Akibat lain yang ditimbulkan yaitu pengurangan tenaga kerja pabrik gula.
Melesunya gairah industri gula di Jawa akibat dari krisis malaise, berdampak pada menurunnya performa produksi gula di PG Tasikmadu. Pabrik ini akhirnya ditutup sementara waktu.
PG Tasikmadu sejatinya tak pernah mati dilekang zaman, ia selalu mati suri, aktif selama 4 bulan sekali. Melihat banyaknya aset berharga sebagai warisan budaya yang telah bertahan ratusan tahun lamanya, Hanung Tri Utomo membuat gebrakan tersendiri.
Burhanudin Harahab menulis skripsi kepada Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul Profil wisatawan agro wisata Sondokoro Tasikmadu Karanganyar, dipublikasi pada tahun 2011.
Menurutnya, kehadiran Kereta uap kuno yang di datangkan pada abad ke-19, menjadi ikon bagi PG Tasikmadu. Hanung menginisiasi untuk menciptakan agrowisata yang dibuka secara komersil pada 18 Desember 2005.
Agrowisata di PG Tasikmadu dikenal oleh masyrakat dengan Taman Agro Wisata Sondokoro. Sebagaimana ikoniknya kereta uap, kafe di sana diberi nama De Loco's yang dibuka untuk masyarakat Karanganyar.
"Karanganyar mbiyen yo enek jalur e kereta gulo. Bapakku tau numpak i keretone soale lewat ngarep omah e pas (Karanganyar dahulu juga ada jalur kereta gula. Ayahku pernah menaikinya karena melintas tepat depan rumahnya)," ujar Albert Niko Wijaya, menuangkan memori tentang ayahnya kepada National Geographic.
Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa
Pengalaman tentang pabrik gula di Karanganyar, melekat dalam memori kolektif masyarakatnya. Dinamika Pabrik Gula Tasikmadu tak dilekang waktu.
"Omah e bapakku Karangpandan kono, rel e pas aku SD sih ono, nek sak iki ketutup dalan ketok e (Rumah ayahku -yang dilintasi rel- berada di Karangpandan, rel-nya ketika saya SD masih ada, kalau sekarang sepertinya tertutup badan jalan," pungkas Albert.
Sejak pandemi, selama pembatasan yang diberlakukan pemerintah, beberapa tempat wisata terpaksa tutup. Hal ini juga berdampak pada penutupan Agro Wisata Sondokoro. Meski begitu, kenangannya selalu melekat bagi rakyat Karanganyar.
Source | : | jurnal Mozaik,Digital Library Universitas Sebelas Maret Surakarta |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR