Nationalgeographic.co.id - Parasetamol merupakan obat yang biasa dikonsumsi, saat mengalami demam atau sekedar pereda nyeri. Obat yang dapat ditemukan dengan mudah ini tidak hanya diresepkan untuk sakit biasa tetapi juga untuk penyakit kronis.
Dilansir dari BBC, tim peneliti dari Universitas Edinburgh, Skotlandia telah melakukan penelitian terhadap penggunaan jangka panjang parasetamol. Studi tersebut telah diunggah pada laman Circulation dengan judul "Regular Acetaminophen Use and Blood Pressure in People With Hypertension: The PATH-BP Trial" pada 7 Februari 2022.
Penelitian ini melibatkan 110 sukarelawan dan dua pertiga dari mereka mengonsumsi parasetamol untuk tekanan darah tinggi atau hipertensi. Dalam penelitian para sukarelawan secara acak diminta untuk mengonsumsi 1 gram parasetamol sebanyak empat kali dalam satu hari selama dua minggu lamanya.
Perlu diketahui, dosis itu merupakan dosis umum meredakan nyeri kronis. Selain itu, mereka juga diminta mengonsumsi pil tanpa kandungan atau plasebo.
"Hasil eksperimen menunjukkan parasetamol meningkatkan tekanan darah, yang mana merupakan salah satu faktor risiko paling penting untuk serangan jantung dan strok lebih dari plasebo," kata ahli farmakologi klinis Universitas Edinburgh, Prof. James Dear.
Baca Juga: Garam Disebut-sebut Sebagai Penyebab Tekanan Darah Tinggi, Benarkah?
Meskipun begitu para peneliti menekankan penggunaan parasetamol untuk sakit kepala dan demam itu baik-baik saja. Hal yang harus diperhatikan adalah para dokter harus memikirkan risiko dan manfaat bagi pasien yang mengonsumsinya selama berbulan-bulan.
Pakar lain juga berpendapat penelitian lanjutan yang membutuhkan lebih banyak sukarelawan dalam jangka waktu yang lebih lama diperlukan untuk mengonfirmasi temuan mereka ini. Penelitian ini juga menyarankan dokter-dokter di luar sana untuk memberikan pasien penderita nyeri kronis dengan dosis parasetamol serendah mungkin. Serta mengawasi mereka yang memiliki tekanan darah tinggi dan berisiko penyakit jantung.
Arthritis adalah salah satu penyebab terbesar nyeri kronis di Inggris Raya. Satu badan amal, Versus Arthritis, mengatakan obat-obatan yang lebih aman untuk mengobati nyeri serta bantuan lain seperti dukungan kesehatan mental dan dorongan untuk aktif secara fisik sangatlah diperlukan.
"Jika Anda khawatir tentang risiko dari obat pereda nyeri, Anda harus berbicara dengan profesional kesehatan untuk mengeksplorasi pilihan Anda," kata Dr Benjamin Ellis, konsultan rheumatologi di Versus Arthritis.
Baca Juga: Krastoelang, Tanaman Obat dari Pasar Tradisional Cirebon yang Mendunia
Sementara itu, Dr. Dipender Gill, dosen farmakologi klinis dan terapi di St. George's, Universitas London, yang tidak terlibat dalam penelitian turut mengungkapkan pemikirannya. Penelitian ini telah menemukan peningkatan tekanan darah yang meskipun kecil tetapi bermakna pada populasi kulit putih Skotlandia. Hanya saja, masih ada banyak hal yang belum diketahui.
Lebih lanjut, Gill menjelaskan tidak jelas apakah peningkatan tekanan darah yang diamati mempunyai kaitan dengan penggunaan parasetamol jangka panjang. Lalu, tidak diketahui secara pasti apakah peningkatan tekanan darah akibat penggunaan parasetamol akan menyebabkan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular.
Tim penelitian Edinburgh mengatakan mereka tidak bisa menjelaskan bagaimana parasetamol akan meningkatkan tekanan darah tetapi temuan mereka harus mengarah pada tinjauan resep parasetamol jangka panjang. Parasetamol sebelumnya dianggap lebih aman daripada obat penghilang rasa sakit antiinflamasi nonsteroid, seperti ibuprofen. Ibuprofen dianggap meningkatkan tekanan darah pada beberapa orang.
British Heart Foundation, yang mendanai penelitian tersebut, mengatakan dokter dan pasien harus secara teratur memikirkan kembali pengobatan lain, sesuatu yang relatif tidak berbahaya dalam jangka panjang seperti parasetamol.
"Penelitian lebih lanjut pada orang dengan tekanan darah normal dan sehat, dalam jangka waktu yang lebih lama, diperlukan untuk mengkonfirmasi risiko dan manfaat penggunaan parasetamol secara lebih luas," pungkas Dr Richard Francis, dari Stroke Association.
Source | : | BBC |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR