Nationalgeographic.co.id—WWF menempatkan Indonesia di peringkat ketiga penyumbang sampah plastik terbesar di dunia, setelah India dan Tiongkok. Padahal, sampah berdampak pada pencemaran lingkungan dan menjadi pemicu perubahan iklim.
John Hay, peneliti dari Scretariat of the Pacific Regional Environmental Program (SPREP) lewat makalahnya menulis, penguraian sampah organik akan menghasilkan karbon dioksida yang membusuk di udara dan membentuk gas metana. Kedua zat ini menjadi emisi yang berkontribusi pada efek rumah kaca di dunia.
Sementara, sampah anorganik bersumber dari produksi yang menggunakan sumber daya yang menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan berbagai macam polutan. Jenis sampah ini akan sangat mencemari lingkungan, terutama jika dikelola dengan pembakaran, terang Hay.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, ada 67,8 ton sampah plastik yang dihasilkan Indonesia pada 2020, yang artinya ada lebih dari 185.000 ton sampah setiap harinya, dan 37,3 persen di antaranya berasal dari aktivitas rumah tangga. Belum lagi, Forbes meletakan Sungai Citarum sebagai sungai paling tercemar di dunia.
Melihat pencemaran sungai, Rika Anggraini, Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan KEHATI Rika Anggraini memandang, sebenarnya sudah banyak kelompok dan komunitas masyarakat yang mengelola sampah rumah tangga di Indonesia. Filantropi alam seperti ini banyak dilakukan berdasarkan kesadaran diri sendiri atau atas bantuan pemerintah dan swasta.
"Kami melihat, selain dorongan dari pemerintah, perlu ada dibangun sinergi yang kuat dari semua lini termasuk pihak swasta dan masyarakat," terang Rika dalam rilis. "Berbicara sampah tidak hanya masalah kebijakan, dan sarana prasarana, namun juga perubahan kebiasaan, dan asas manfaatnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitar."
Dalam acara daring Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) 2022, Senin (21/02/2022), Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, "Jelas bahwa upaya-upaya pengelolaan sampah yang dilakukan menjadi bagian penting dari upaya penurunan emisi gas rumah kaca."
Menurutnya, perlu ada sistem pengelolaan sampah yang optimal salah satunya adalah pengelolaan berantai yang diharapkan tidak membuat material apa pun terbuang. Dengan demikian bisa mencegah berbagai gas rumah kaca termasuk metana terbebas.
Rosa Vivien, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK mengatakan, sampah kita memiliki masalah pengelolaan.
Di lapangan, banyaknya sistem pembakaran terbuka, pembuangan ilegal, dan kurang maksimlanya pengelolaan sampah seperti tidak adanya cara pemanfaatan gas metana di TPA, serta beberapa sampah seperti jenis kertas memiliki tata daur ulang yang masih minim.
"Pemerintah telah menetapkan strategi dan melaksanakannya dalam bentuk kapasitas kebijakan dan kelembagaan baik di tingkat lokal dengan program pengelolaan air limbah perkotaan, mengurangi sampah di TPA dengan mempromosikan pendekatan 'Reduce, Reuse, Recycle' dan pemanfaatan sampah menjadi bahan baku energi," terang Rosa.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR