Nationalgeographic.co.id—Hingga kini, Pluto masih menjadi daya tarik bagi para astronom, meskipun pada 2006 statusnya diturunkan menjadi sebagai planet kerdil. Planet yang memiliki kemiringan tinggi (120°) dan eksentrisitas orbit (0,25) ini telah diketahui mengalami episode musiman karena depresi besarnya yang dikenal sebagai Sputnik Planitia.
Ketika Pluto melintas di depan sebuah bintang pada malam 15 Agustus 2018, tim astronom yang dipimpin oleh Southwest Research Institute telah mengerahkan teleskop di berbagai lokasi di AS dan Meksiko untuk mengamati atmosfer Pluto yang disinari cahaya latar bintang yang saat itu berada di tempat yang tepat. Para ilmuwan menggunakan peristiwa okultasi ini untuk mengukur kelimpahan keseluruhan atmosfer lemah Pluto dan menemukan bukti kuat bahwa ia mulai menghilang, membeku kembali ke permukaannya saat bergerak menjauh dari Matahari.
Okultasi memakan waktu sekitar dua menit, selama waktu itu bintang memudar dari pandangan saat atmosfer Pluto dan benda padat lewat di depannya. Tingkat di mana bintang menghilang dan muncul kembali menentukan profil kepadatan atmosfer Pluto.
Selanjutnya, pada saat yang berbeda, tepatnya pada 6 Juni 2020, peristiwa yang sama pun terjadi. Pluto mengalami momen okultasi lagi, sebuah fenomena di mana planet yang berada di depan bintang terang dilihat dari Bumi, tentu saja hal ini tidak dilewatkan begitu saja oleh para astronom. Melalui teleskop optik Devasthal (DOT) 3,6 m (teleskop optik terbesar di India) dan teleskop Devasthal Fast Optical Telescope (DFOT) 1,3 m yang terletak di Devasthal, Nainital, mereka mempelajari Pluto.
Kali ini tim peneliti dari India, Brasil, dan Prancis berhasil mengungkap dalam studi terbaru mereka bahwa tekanan atmosfer Pluto di permukaannya 80.000 kali lebih kecil daripada di Bumi. Tim tersebut juga termasuk peneliti dari Aryabhatta Research Institute of Observational Sciences-Uttarakhand, Physical Research Laboratory-Ahmedabad, dan Indian Institute of Space Science and Technology-Thiruvanathpuram dari India.
Ketika okultasi itu berlangsung, para peneliti mempelajari rasio signal-to-noise dari kurva cahaya untuk sampai pada tekanan atmosfer Pluto yang akurat. Tekanan atmosfer Pluto ditemukan 12,23 μbar, yang mana lebih dari 80.000 kali lebih kecil dari tekanan yang ada di Bumi.
Penelitian yang telah dipublikasikan di Astrophysical Journal Letters pada 24 Desember 2021 berjudul Pluto's Atmosphere in Plateau Phase Since 2015 from a Stellar Occultation at Devasthal ini juga menunjukkan bahwa tekanannya berkurang ketika mendekati puncak musim. Ada variabilitas musiman dalam tekanan atmosfer Pluto karena tekanan uap dari es nitrogen. Selain itu, kutub planet kerdil ini juga tetap berada di bawah sinar matahari permanen atau kegelapan permanen dalam beberapa dekade selama orbitnya 248 tahun mengelilingi matahari.
Baca Juga: Atmosfer Pluto Secara Perlahan Menghilang, Membeku ke Permukaannya
Baca Juga: Ilmuwan Temukan Bukti yang Bisa Membuat Pluto Menjadi Planet Lagi
Baca Juga: Bukit Pasir yang Terbuat Dari Metana Padat Ditemukan di Pluto
Selain itu, karena Pluto sekarang menjauh dari bidang Galaksi, okultasi bintang oleh planet kerdil ini menjadi semakin langka, membuat peristiwa ini menjadi peristiwa yang menentukan. Peristiwa ini jarang terjadi, biasanya berlangsung selama berjam-jam, dan dapat menghasilkan data tentang lokasi fitur cincin yang menyaingi resolusi pesawat ruang angkasa.
Kompilasi dari dua belas okultasi bintang oleh Pluto yang diamati antara 1988 dan 2016 menunjukkan peningkatan stabil tiga kali lipat dalam tekanan atmosfer selama periode ini. Tekanan atmosfer di planet kerdil itu mendekati puncaknya sejak 2015, kata para peneliti dalam makalah mereka. “Ini sangat sesuai dengan nilai model yang dihitung sebelumnya oleh model transportasi volatil Pluto pada 2019,” tulis mereka.
"Kegaiban ini sangat tepat waktu karena dapat menguji validitas model evolusi atmosfer Pluto saat ini." catat para ilmuwan.
Memang, masih banyak yang belum diketahui tentang Pluto, ke depannya para astronom akan terus memanfaatkan momen okultasi yang terjadi untuk lebih mempelajarinya, meskipun semakin jarang.
Source | : | Berbagai sumber |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR