Nationalgeographic.co.id - Secara geografis, Indonesia terletak pada rangkaian ring of fire atau cincin api. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), ring of fire merupakan rangkaian gunung berapi yang membentang sepanjang 40.250 kilometer (km) di Samudra Pasifik.
Terdapat 127 gunung berapi aktif yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, 19 di antaranya berada di Pulau Jawa. Salah satu gunung berapi tersebut adalah Gunung Ijen yang terletak di perbatasan Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Gunung dengan ketinggian 2.386 meter dari permukaan laut (mdpl) ini masyhur dengan pesona api biru (blue fire) di kawahnya. Keberadaan blue fire di kawah gunung terbilang langka karena hanya ada satu tempat lagi di dunia, selain Kawah Ijen.
Untuk diketahui, blue fire di Kawah Ijen merupakan hasil reaksi dari gas bumi yang bertemu dengan oksigen pada suhu di kawah tersebut. Proses pembakaran alami ini menghasilkan api berwarna biru dengan semburat merah-jingga yang menutupi permukaan kawah.
Namun, keindahan blue fire di Kawah Ijen hanya dapat dilihat saat cahaya temaram. Waktu yang paling ideal adalah mulai dini hari hingga menjelang subuh. Tak heran, banyak pelancong yang rela melakukan pendakian malam hari untuk menyaksikan fenomena geologi tersebut, seperti yang dilakukan Rendra Kurnia.
Baca Juga: Abdoel Rivai, Jurnalis Hindia Berbahasa Melayu di Negeri Belanda
Lebih dari sekadar ingin melihat dengan mata telanjang, fotografer profesional itu berupaya mengabadikan keunikan cahaya Kawah Ijen dengan bidikan mata kamera lewat program Nawa Cahaya: Capture the Unique Lights in Indonesia.
Rendra bercerita dibutuhkan waktu sekitar dua jam untuk bisa mencapai Kawah Ijen. Jalur yang curam dan penerangan yang minim membuatnya harus hati-hati betul mendaratkan tiap langkah.
“Untuk mencapai kawah, saya harus melakukan perjalanan dengan berjalan kaki. Karena medan cukup licin dan curam, agar tidak terjatuh, saya mencoba mengikuti irama langkah bapak-bapak penambang dari belakang,” kata Rendra saat dihubungi Tim National Geographic Indonesia, Senin (7/2/2022).
Kesulitan belum usai saat Rendra berhasil mencapai bibir kawah sekitar pukul dua dini hari. Sebab, tak mudah menemukan spot yang tepat untuk memotret keelokan Kawah Ijen, terutama karena harus berjuang melawan tebalnya asap belerang.
Guyuran hujan saat itu pun sedikit menyembunyikan cakrawala dari pandangan. Dalam kondisi cuaca demikian, menurutnya, cahaya blue fire sangat minim. Dia harus menunggu angin sedikit lebih tenang agar foto yang dihasilkan lebih optimal.
“Sempat hujan waktu tiba di dasar kawah, sehingga cukup kesulitan untuk memotret momen blue fire. Pada waktu yang sama, asap belerang yang begitu tebal membuat bidikan foto saya kurang maksimal dan tidak sesuai konsep yang disusun sebelumnya,” cerita Rendra.
Baca Juga: Berusia Singkat, Almoravid Mengislamkan Maroko dan Menjaga Andalusia
Harapan Rendra untuk menangkap blue fire dari berbagai sudut seolah ikut tertutup kabut dini hari itu. Namun, seperti kata pepatah, sepahit-pahitnya kenyataan harus diselingi dengan semanis-manisnya harapan.
Tidak kehabisan akal. Rendra mengeksplorasi seluruh titik foto di Kawah Ijen untuk mendapat hasil jepretan yang memenuhi ekspektasinya. Demi alasan menantang diri, ia ingin menghasilkan low-light smartphone photography menggunakan kamera dari realme 9 Pro+.
“Saat itu, Kawah Ijen sedang sepi pengunjung, sehingga memudahkan saya untuk mengeksplorasi seluruh spot pengambilan gambar,” ujarnya.
Mengingat pengambilan gambar dilakukan dalam kondisi cahaya temaram, Rendra mengulik gambar menggunakan berbagai fitur pada kamera smartphone tersebut. Mulai dari mode manual, mode malam, hingga mode profesional. Tujuannya agar cahaya yang ditangkap terlihat lebih dramatis.
“Kalau untuk kondisi low-light, sebaiknya dioptimalkan menggunakan fitur mode Pro untuk memudahkan dalam menangkap momen,” ungkap dia.
Kemudian, Rendra menyetel kameranya pada ISO 100 dengan speed dan exposure rate yang rendah. Hasilnya? Voila! Dia berhasil mengabadikan daya pikat blue fire di Kawah Ijen menggunakan realme 9 Pro+, meski dalam kondisi gelap gulita dan berselimut asap tebal dari belerang.
"Jika dibandingkan dengan kamera profesional, kapasitas fitur pada realme 9 Pro+ nyaris bisa mensubstitusi untuk memotret dalam kondisi low-light," tuturnya.
Untuk diketahui, realme 9 Pro+ dibekali dengan sensor kamera flagship Sony IMX766 yang mampu meningkatkan detail warna pada foto. Hasil jepretan menjadi lebih detail dan tajam, bahkan saat foto diambil dalam kondisi temaram.
Dia juga sempat memotret tanpa menggunakan tripod dan menghasilkan gambar yang cukup stabil. Ini berkat berkat Optical Image Stabilization (OIS) yang ditanam pada realme 9 Pro+. Walaupun tripod bisa saja tetap dibutuhkan pada kondisi tertentu agar kamera tidak shaky.
Baca Juga: Menyambut Sunset di Pulau Weh, Surga Kecil di Ujung Barat Nusantara
Selain blue fire, Rendra menuturkan ada banyak objek menakjubkan untuk diabadikan di Gunung Ijen. Salah satunya adalah air danaunya yang tampak seperti kabut di gunung es.
Sebagai informasi, Kawah Ijen merupakan satu dari sembilan destinasi perjalanan yang dilakukan oleh delapan fotografer profesional dalam program Nawa Cahaya: Capture The Unique Lights in Indonesia.
Program yang digelar realme Indonesia bersama National Geographic Indonesia tersebut bertujuan mengabadikan keunikan cahaya dari setiap destinasi. Para fotografer ditantang menghasilkan foto dalam kondisi low-light menggunakan kamera dari smartphone realme 9 Pro+.
Bagi Anda yang penasaran melihat foto karya delapan fotografer pada ekspedisi ke sembilan destinasi wisata alam tersebut, Anda dapat mengunjungi laman https://bit.ly/realme9lights.
Penulis | : | Nana Triana |
Editor | : | Wandha Nur Hidayat |
KOMENTAR