Nationalgeographic.co.id—Saat mengunjungi Thailand atau Tiongkok, mungkin Anda akan menemukan kios-kios yang menjajakan serangga untuk dikonsumsi. Entah itu jangkrik, ulat, atau kalajengking yang sudah digoreng atau disajikan dalam bentuk lain.
Tenyata, serangga ini disajikan bukan untuk menguji nyali Anda. Sejak zaman dulu, nenek moyang kita sudah mengonsumsi serangga, bahkan ini berlanjut hingga zaman sekarang. Mulai dari Zaman Es hingga Romawi Kuno, konsumsi serangga ternyata lazim dilakukan.
Serangga ramah lingkungan dan kaya protein
Saat ini, 2 miliar orang dan 3000 kelompok etnis masih mengonsumsi 2.100 serangga. Meski demikian, konsumsi serangga menjadi hal yang tabu atau menjijikkan di dunia Barat.
Di Eropa, konsumsi serangga kembali muncul karena orang-orang mulai menyadari bahwa nilai gizinya. Konsumsi serangga juga dinilai lebih ramah lingkungan.
Bandingkan antara hamburger mengandung 18% protein dan 18% lemak sedangkan belalang yang dimasak mengandung 60% protein dan hanya 6% lemak.
Dibandingkan dengan ternak, serangga jauh lebih efisien dalam mengubah biomassa menjadi protein. Empat puluh lima kilogram pakan menghasilkan 4,5 kilogram daging sapi, tetapi jumlah pakan yang sama menghasilkan 20 kilogram jangkrik.
Kapan manusia mulai mengonsumsi serangga?
Sejak awal, konsumsi serangga memiliki tempat penting dalam kebiasaan makan manusia paling primitif.
Bukti arkeologis dari Jun Mitsuhashi menunjukkan bahwa fosil kotoran manusia purba mengandung semut, larva kumbang, kutu, caplak, dan tungau.
Serangga terus menjadi sumber makanan penting dua juta tahun kemudian bagi Australopithecus yang lebih maju. Tidak seperti generasi sebelumnya, mereka menggunakan alat tulang untuk menggali rayap. Penemuan ini dibuat oleh tim ilmuwan yang membuat alat tulang serupa dan menggunakannya dengan cara yang sama.
Selanjutnya, Homo erectus, yang muncul pada tahap evolusi 1,9 juta tahun yang lalu, lebih suka mencari makan serangga. Mereka membutuhkan protein untuk mendukung ukuran otak yang lebih besar.
Namun dengan kedatangan Neanderthal 250.000 tahun yang lalu, seni memakan serangga mulai memudar. Neanderthal meninggalkan tanah air mereka di Afrika dan pindah ke Eropa yang membeku selama Zaman Es. Mereka lebih suka hidup dalam jumlah besar dan karena kondisi dingin, hampir tidak ada serangga untuk mencari makan. Beberapa serangga juga tidak terlalu besar ukurannya sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Akibatnya, tradisi makan serangga yang kuat tidak pernah berkembang di Eropa.
Namun tidak semua manusia purba memutuskan untuk pindah ke Eropa. Keberadaan jembatan es antara Siberia dan Amerika Utara berarti populasi besar menetap di daerah yang lebih tropis. Seperti Amerika Selatan, di mana konsumsi serangga terus dilakukan dan masih dapat ditemukan sampai sekarang.
Meskipun demikian, pertanian adalah metode produksi pangan yang lebih populer. Mengumpulkan serangga lebih sulit karena kecil dan sulit ditemukan. Juga, peningkatan populasi manusia purba harus ditopang dengan hasil pertanian yang besar. Ketersediaan serangga tidak dapat mencukupinya.
Karena perusakan tanaman oleh kawanan belalang dan hama lainnya, serangga menjadi musuh manusia. “Jadi untuk mendapatkan protein, manusia memanfaatkannya dari sumber lain, misalnya memelihara ayam,” ungkap Jake Leigh-Howarth dilansir dari laman Ancient Origin.
Meski menempati urutan yang berbeda, serangga masih digemari hingga saat ini.
Pesta makan serangga
Dalam masyarakat kuno di seluruh dunia seperti Tiongkok kuno, Yunani, dan Roma, mengonsumsi serangga adalah kebiasaan umum.
Menurut sebuah studi oleh Yi, He, Wang, dan Kuang, pemakan serangga dapat ditemukan di Tiongkok sejak 3200 tahun yang lalu.
Bukti tertulis paling awal tentang pemakan serangga dapat ditemukan di Timur Dekat dan Tiongkok dari milenium kedua dan pertama. Dalam buku masak Dinasti Tang menguraikan penggunaan larva dan kepompong tawon dalam masakan.
Setelah berlalunya Zaman Es, penyebutan pertama entomofagi di Eropa adalah pada 350 SM. Aristoteles, filsuf abad ke-4 SM, mungkin paling dikenal karena tulisannya yang luas tentang etika, metafisika, dan politik. Ia juga seseorang yang rajin memakan serangga, menyusun beragam resep dan pemikiran serangga dalam bukunya Historia Animalum.
Baca Juga: Gawat! Kupu-kupu dan Lebah Kesulitan Menemukan Bunga Akibat Polusi
Baca Juga: Sains Terbaru: Simpanse Mengobati Luka dengan Mengoleskan Serangga
Baca Juga: Agama Apa yang Dianut Zaman Romawi Kuno? Begini Penjelasannya
Seluruh bagian karyanya didedikasikan untuk fase kehidupan serangga dan waktu paling enak untuk mengonsumsinya. Ia merekomendasikan makan betina dewasa setelah sanggama karena telurnya yang enak:
“Pada awalnya jantan lebih baik makan, tetapi setelah sanggama betina, yang kemudian penuh dengan telur putih”.
Salah satu sensasi makanan serangga favoritnya adalah jangkrik, yang rasanya paling enak di tahap akhir perkembangannya:
“Larva jangkrik saat mencapai ukuran penuh di tanah menjadi nimfa; kemudian rasanya paling enak, sebelum kulitnya pecah”.
Baginya, belalang betina yang dimasak dengan minyak manis dengan telur yang masih ada di dalamnya "sangat manis". Menurut filsuf ini, belalang menjadi camilan bergizi yang menggugah selera.
Sejarawan dan ahli geografi Herodotus memperkenalkan rempah-rempah serangga ke Yunani setelah bepergian selama bertahun-tahun. Salah satu yang dia temukan adalah dari Libya, di mana tepung belalang digunakan untuk membumbui susu.
Di tempat lain, di Roma kuno, Plinius Tua, dalam Naturalis Historia, mencatat bagaimana orang Romawi suka memakan larva kumbang. Larva ini disimpan dalam tepung dan anggur untuk membuatnya lebih gemuk.
Howart mengungkapkan, “Menjelang akhir abad ke-1 SM, konsumsi serangga menjadi kurang populer.” Serangga dianggap sebagai penyebab dan penyebar penyakit juga perusakan pertanian. Konsumsi serangga juga dianggap primitif dan tidak menyehatkan tubuh.
Akibatnya, selama Abad Pertengahan dan periode Modern Awal penyebutan entomofagi merujuk pada budaya pemakan serangga yang kuat di daerah tropis.
Seiring berjalannya waktu, di dunia Barat, konsumsi serangga dianggap tabu dan menjijikkan meski kaya protein.
Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda merupakan salah satu pecinta kuliner eksotis ini?
Source | : | ancient origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR