Nationalgeographic.co.id - Muslim di Eropa Barat sering diasumsikan memiliki sikap yang lebih negatif terhadap homoseksualitas karena agama. Studi baru dari Radboud University Nijmegen mencoba mengungkapkan hal tersebut, bagaimana sebenarnya muslim di Eropa Barat memandang homoseksualitas.
Seperti diketahui, Eropa Barat merupakan pusat peradaban di benua Eropa. Dalam sejarahnya, Eropa Barat merupakan pintu masuk Islam ke Eropa. Kini, Islam merupakan agama terbesar kedua di Eropa setelah Kristen.
Pada studi ini, para peneliti mengeksplorasi bagaimana muslim memandang homoseksual serta kaitannya dengan migrasi dan diskriminasi. Penelitian melibatkan 2.783 Muslim di Eropa Barat dan diterbitkan dalam International Migration Review dengan judul "What Shapes Attitudes Toward Homosexuality among European Muslims? The Role of Religiosity and Destination Hostility".
Untuk mendapatkan kesimpulan, para peneliti menggunakan kuesioner yang diisi oleh 2.973 Muslim di 17 negara Eropa Barat. Responden ditanya tentang latar belakang, religiusitas, dan sikap mereka terhadap homoseksualitas dan topik lainnya.
Hasilnya, Muslim yang tumbuh besar di Eropa Barat lebih negatif tentang homoseksual jika mereka lebih sering hadir ke Masjid. Selain itu, dampak kehadiran masjid lebih kuat di kalangan migran Muslim yang tumbuh di Eropa.
"Itu mungkin terdengar paradoks, tetapi jika Anda membalikkannya, itu cukup logis: orang-orang yang telah bersosialisasi di Eropa dan yang lebih jarang pergi ke masjid tampaknya lebih terlepas dari norma-norma yang berlaku di orang tua mereka atau asal mereka," kata Spierings, seperti dilansir eurekalert.
Menurutnya, tentu saja mereka melihat bahwa sikap para migran Muslim generasi pertama lebih dibentuk oleh asal-usul mereka. Di negara-negara seperti Irak dan Somalia, misalnya, homoseksualitas dapat dihukum mati dan orang-orang ditangkap karenanya. Migran yang tumbuh di negara-negara tersebut, rata-rata, lebih negatif tentang homoseksualitas daripada Muslim yang datang dari negara-negara yang tidak melarangnya, seperti Turki atau Makedonia.
"Bagi Muslim dari generasi kedua atau ‘satu setengah’—Muslim yang lahir di luar negeri tetapi dibesarkan di sini, faktor penting adalah opini tentang homoseksualitas yang dipegang oleh penduduk di negara Eropa tempat mereka berimigrasi. Jadi, migran generasi kedua yang tinggal di Belanda rata-rata lebih toleran terhadap homoseksualitas daripada mereka yang tinggal di Portugal," jelasnya.
Baca Juga: Kanada Melarang Terapi Konversi LGBTQ+ yang 'Tercela dan Merendahkan'
Baca Juga: Benarkah Ateis Tidak Bermoral Seperti Layaknya Umat Beragama?
Baca Juga: Survei Membuktikan Orang yang Aktif Beragama Cenderung Lebih Bahagia
Terakhir, penelitian menunjukkan bahwa dampak kehadiran atau datang ke masjid lebih kuat di antara kelompok Muslim yang mengalami lebih banyak diskriminasi. "Itu menunjukkan bahwa kelompok yang merasa kurang diterima di masyarakat lebih cenderung mengadopsi sikap yang lebih konservatif. Ini hampir seperti lingkaran setan di mana diskriminasi terhadap Muslim berdasarkan budaya dan agama mereka sebenarnya memperkuat stereotip budaya itu," ia melanjutkan.
Perbedaan Dengan Negara-Negara Arab
Sebelumnya, Spierings dan rekannya Saskia Glas telah melakukan penelitian serupa di negara-negara Arab. Ada perbedaan yang jelas dalam penyebab yang mereka temukan di antara Muslim Eropa Barat dalam survei ini dan penyebab yang mereka temukan dalam penelitian sebelumnya.
"Hal ini menunjukkan bahwa agama memainkan peran kontekstual, kepercayaan tergantung pada lingkungan. Misalnya, norma yang berbeda mengenai homoseksualitas berlaku di sini, dan kepercayaan terutama menanggapi perdebatan tentang integrasi dan diskriminasi. Sebaliknya, di Timur Tengah, mereka lebih terkait dengan perdebatan tentang imperialisme dan neo-kolonialisme," katanya.
Kembali ke Eropa, angka-angka tersebut menunjukkan bahwa integrasi sosial sedang terjadi dalam hal sikap Muslim terhadap homoseksualitas. Namun faktor-faktor seperti kehadiran di masjid dapat memperlambatnya. Kelompok yang tumbuh di Eropa Barat lebih cenderung mengadopsi nilai-nilai 'lokal'.
"Hasil penelitian ini menggarisbawahi pentingnya sosialisasi. Tidaklah benar bahwa seorang Muslim akan selalu memiliki sikap negatif terhadap homoseksualitas. Seseorang yang tumbuh di Eropa Barat akan lebih cenderung mengadopsi pandangan penduduk setempat. Pendidikan, lingkungan sosial dan faktor-faktor lain memainkan peran penting dalam hal ini," katanya.
Source | : | eurekalert,International Migration Review |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR