Nationalgeographic.co.id - Anton Stolwijk bukanlah sejarawan, melainkan jurnalis Belanda yang menggeluti dunia sejarah. Dia datang ke Aceh sekitar 10 tahun lalu untuk mendatangi temannya seorang antropolog yang meneliti dampak tsunami Aceh, yang kini menjadi istrinya.
Ketika tiba di bandara dan dijemput oleh taksi, alangkah terkejut ia ketika supir taksi mampu menceritakan masa kolonial Belanda setelah mengetahui Anton adalah orang Belanda.
"Dia langsung menceritakan Teuku Umar, militer Belanda di Aceh, tentu juga berbagai hal sebelumnya saya tidak pernah dengar," kenang Anton dalam forum diskusi dan peluncuran buku karyanya, Aceh: Kisah datang dan terusirnya Belanda dan jejak yang ditinggalkan yang diadakan Pustaka Obor Indonesia, Jumat (11/03/2022).
Baca Juga: Sepiring Mi Aceh: Teladan Cerita Kota Rempah dalam Kesejatian Rasa
Baca Juga: Kisah Perempuan: Menelisik Ketangguhan Perempuan Aceh di Masa Lalu
"Dan di minggu-minggu sesudahnya, situasi seperti itu seperti sering terulang di warung kopi, tukang pangkas rambut, tukang pisang goreng. Sepertinya semua orang Aceh yang saya temui selalu punya cerita tentang perang dengan Belanda."
Fenomena ini membingungkannya karena cerita sejarah ini diketahui publik Aceh. Sementara di Belanda pemahaman Anton hanya berasal dari buku semasa SMA yang menyebut perang Aceh dengan Belanda hanya dalam satu kalimat saja. Isinya hanya informasi bahwa ada pemberontakan di Aceh pada abad ke-19 yang ditumpas dengan kekerasan oleh Jenderal J.B van Heutsz (1851-1924).
"Semuanya [di Aceh] tahu tentang perang, sementara di Belanda sama sekali tidak ada kepedulian. Waktu itu saya pikir orang Belanda harus tahu sejarah ini," lanjutnya.
"Saya punya pertanyaan: apa persisnya yang dilakukan oleh Belanda di Aceh, bagaimana itu diserap oleh masyarakat Aceh hingga sekarang, apakah mungkin bisa saya buat koneksi bahan-bahan kembali sumber historis belanda yang sebagian besar berlapis debu dalam tumpukan arsip itu dengan aktualitas Aceh pada masa ini."
Lewat karya pengetahuan sejarah inilah Anton mengumpulkan fakta-fakta sejarah Aceh dan Belanda. Dia bahkan berharap lewat bukunya agar barang-barang rampasan Belanda bisa dikembalikan ke Aceh.
Baca Juga: Menyingkap Kisah Letnan Belanda Melihat Hantu Saat Peperangan Aceh
Baca Juga: Pocut Meurah Intan, Perempuan Tangguh Aceh yang Diasingkan ke Blora
Penjelasan sejarah dalam buku karya Anton mendapat apresiasi dari Bonnie Triyana, kurator tamu di Rijksmuseum, Belanda. Menurutnya, karya seperti ini membuat pemahaman sejarah harus menggali kembali tentang apa yang terjadi di Aceh selama periode perang dengan Belanda.
Dia menjelaskan, Aceh adalah kawasan terakhir yang ditaklukkan Belanda dengan memakan waktu sangat lama. Akan tetapi, takluknya Aceh dalam kacamata sejarah Indonesia mungkin kurang 40 tahun saja mengalami penjajahan.
Sedangkan penakluknya adalah van Heutsz yang sempat dibuatkan patung di Cikini, Jakarta, untuk menganugerahinya sebagai pemersatu Hindia-Belanda.
"Atau jangan-jangan Aceh itu tidak pernah tertaklukkan karena terus-terus melawan," ungkap Bonnie.
Sebagai kurator di museum di Belanda, Bonnie menemukan bendera atau panji milik Aceh. Dengan keberadaannya di sana, ia berpendapat, menandakan kekalahan pasukan Aceh dalam pertempuran dengan Belanda. Sebab, dalam seni berperang, ketika panji direbut oleh musuh menandakan pihak yang melawan telah kalah.
Ada banyak kisah perang Aceh yang dijabarkan oleh Anton lewat bukunya. Dia membuka bahasan dari zaman keemasan Kesultanan Aceh yang punya pengaruh dalam penyebaran Islam di Nusantara dan hubungannya dengan negeri-negeri jauh.
Selain itu ada pula bagaimana Perang Aceh bermula lewat invasi Belanda, pemahaman mendalam untuk beberapa tokoh seperti Cut Nyak Dhien, C. Snouck Hurgronje, Van Heutsz, dan Panglima Polim.
Bahkan, setelah takluknya Aceh di tangan Belanda, Anton menggambarkan bagaimana perjuangan Aceh terus berlanjut seperti yang terjadi pada 1942 bersamaan dengan kedatangan Jepang.
"Penting untuk melihat Aceh dari Aceh sendiri jadi bukan dari sudut pandang Jakarta, bukan dari sudut pandang Indonesia, bukan dari sudu pandang Jawa, tetapi melihat Aceh dari segi Aceh," kata Bonnie menilai penjabaran Anton tentang sejarah Perang Aceh dengan berkunjung dan mencari bukti sejarah di Aceh dan Belanda.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR