Nationalgeographic.co.id—Sebuah studi baru dari Program Agama dan Kehidupan Masyarakat (Religion and Public Life Program/RPLP) Rice University mengungkapkan bahwa orang-orang Islam, Yahudi, dan Kristen sama-sama mengalami diskriminasi di tempat kerja mereka. Menurut hasil studi terbaru ini, dua pertiga Muslim, setengah orang Yahudi dan lebih dari sepertiga orang Kristen Protestan evangelis mengalami diskriminasi di tempat kerja dengan cara yang berbeda.
"Ketika kami melakukan wawancara, kami dapat mengetahui lebih dalam tentang bagaimana orang-orang mengalami diskriminasi agama," kata Rachel Schneider, peneliti pascadoktoral di RPLP dan penulis utama studi bertajuk 'How Religious Discrimination is Perceived in the Workplace: Expanding the View' ini.
"Kami menemukan bahwa ini bukan hanya tentang perekrutan, pemecatan, dan promosi, yang biasanya dipikirkan orang-orang," tambah Schneider seperti dikutip dari EurekAlert!.
Masing-masing orang Islam, Yahudi dan Kristen mengatakan mereka mengalami komentar negatif atau berbahaya, stereotipe dan pengucilan sosial. Orang-orang Islam dan Yahudi merasa ditargetkan oleh retorika anti-Islam dan antisemit dengan dilihat sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar, misalnya ISIS dan Zionis. Adapun orang-orang Kristen Evangelis, merasa dikucilkan ketika mengambil sikap individu berdasarkan pandangan moral mereka.
"Kadang-kadang mereka dipanggil 'Ms. Holy' atau 'Holy Roller,' dan banyak orang Kristen evangelis merasa mereka seperti dianggap sebagai orang yang suka menghakimi, berpikiran sempit dan/atau sayap kanan," beber Schneider.
Selain itu, rekan penulis Denise Daniels, peneliti utama studi tersebut sekaligus Profesor Kewirausahaan di Wheaton College, mengatakan banyak orang Kristen yang disurvei memberikan contoh perasaan terisolasi di tempat kerja mereka.
"Ini karena anggapan rekan-rekan kerja mereka tentang jenis percakapan atau acara di luar pekerjaan yang ingin mereka ikuti," katanya.
Ketiga kelompok – terutama Muslim dan Yahudi – menggambarkan perasaan tidak nyaman meminta untuk merayakan hari besar keagamaan atau mengenakan pakaian keagamaan di tempat kerja dan menyebutkan pengalaman negatif yang mereka alami dengan supervisor dan rekan kerja. Orang-orang Islam dan Yahudi ini kemungkinan besar merasa mereka perlu mengecilkan atau menyembunyikan agama mereka di tempat kerja.
"Penyembunyikan identitas sering digunakan oleh orang-orang yang merupakan bagian dari kelompok yang distigmatisasi," kata rekan penulis Deidra Coleman, seorang peneliti pascadoktoral di University of Texas Health Science Center di Houston.
"Ini adalah cara proaktif untuk 'mengelola' diskriminasi agama yang diantisipasi, tetapi dapat berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang."
Baca Juga: Diskriminasi Tinggi, Albino di Afrika Selatan Hidup dalam Ketakutan
Baca Juga: Kaum Ateis dan Agnostik di Indonesia Dibayangi Hantu-hantu Stigma
Peneliti utama Elaine Howard Ecklund, direktur RPLP dan Ketua Herbert S. Autrey Chair in Social Sciences di Rice, mengatakan temuan ini menantang para pengusaha untuk mempertimbangkan kembali bagaimana mereka berpikir tentang diskriminasi agama. Dia mengatakan mencari tahu bagaimana menyeimbangkan kelompok-kelompok dan perspektif yang berbeda sambil menunjukkan kepekaan kepada semua yang terlibat itu rumit.
"Saya pikir sebuah pelajaran yang baik untuk divisi sumber daya manusia adalah membuat orang-orang merasa diterima dan nyaman di tempat kerja, ini membutuhkan lebih dari sekadar makanan khusus dan tempat untuk berdoa," ujarnya.
"Interaksi sehari-hari di antara rekan-rekan kerja ini sangat penting, tetapi mereka lebih sulit untuk diperbaiki tanpa pendidikan yang tepat. Pelatihan di tempat kerja harus mencakup latihan yang secara khusus menargetkan semua jenis diskriminasi agama."
Penelitian ini merupakan bagian dari "Faith at Work: An Empiris Study" dari RPLP, yang mencakup survei terhadap lebih dari 11.000 orang dan wawancara mendalam dengan 200 orang lebih di Amerika Serikat. Laporan hasil studi ini telah terbit di jurnal Socius: Sociological Research for a Dynamic World.
Source | : | eurekalert.org |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR