Nationalgeographic.co.id—Samantha Smith, seorang duta besar tak resmi berusia 13 tahun untuk Uni Soviet, dikabarkan tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat, meninggalkan duka mendalam.
Nama Samantha Smith mendadak terkenal karena menulis surat kepada pemimpin Soviet, Yuri Andropov pada tahun 1982 dan mengunjungi Uni Soviet sebagai tamu Andropov pada tahun 1983.
"Pada akhir tahun 1982, Smith, siswa kelas lima di Sekolah Dasar Manchester di Manchester, Maine, menulis surat duka kepada pemimpin Soviet Andropov," tulis Keith B. Richburg kepada Washington Post.
Richburg menulis dalam artikel yang berjudul Samantha Smith Dies In Plane Crash at 13, dipublikasikan pada 27 Agustus 1985.
Dalam surat singkatnya, ia mengatakan bahwa dia mengkhawatirkan tentang Rusia dan Amerika Serikat apabila terlibat dalam perang nuklir.
"Apakah Anda akan berperang atau tidak?" tulis Samantha dalam suratnya. Beberapa bulan kemudian, surat Smith dicetak ulang di Rusia dan diumumkan bahwa Andropov sedang menulis tanggapan.
Selang beberapa waktu, Samantha Smith menerima surat tanggapan pada April 1983. Andropov meyakinkannya bahwa dia tidak menginginkan perang nuklir dengan Amerika Serikat atau negara lain mana pun.
Andropov dengan hangat menuliskan ketidakmungkinan perang nuklir, berusaha menenangkan bocah berusia 13 tahun itu dalam tanggapan suratnya.
Pemimpin Soviet itu bahkan menyebut Samantha sebagai gadis kecil yang berani dan jujur, dan Andropov menutup surat itu dengan undangan kepada Samantha untuk mengunjungi Uni Soviet.
Perjalanan Samantha Smith kemudian diliput secara luas oleh media berita Amerika dan Soviet, menjadi simbolis, ketika para komentator berpendapat tentang bagaimana kepolosan seorang anak dapat meruntuhkan ego kedua negara adidaya yang berseteru.
Pada bulan Juli, ditemani oleh orang tuanya, Smith memulai perjalanan dua minggu. Dia menjadi sangat populer di Uni Soviet, meskipun akhirnya ia tidak bisa bertemu dengan Andropov.
Setelahnya, ia menjadi populer di televisi, dimana membuat acara bincang-bincang pagi di televisi dan dengan cepat meningkatkan ketenarannya laiknya superstar, menulis otobiografi dan muncul dalam iklan.
Dia bahkan menjadi pembawa acara TV khusus 90 menit tahun 1984 yang berjudul Samantha Smith Goes to Washington—Campaign 84, di mana dia mewawancarai kandidat presiden.
Di Amerika Serikat, beberapa orang mencapnya sebagai patsy untuk komunis dan mengklaim bahwa propagandis Soviet hanya menggunakan dia untuk tujuan mereka sendiri.
Meski begitu. antusiasme Samantha dan optimismenya menular, memikat kebanyakan orang Amerika dan jutaan orang lain di seluruh dunia untuk turut mendorong agar tidak terjadi perang nuklir.
Selama dua tahun berikutnya, Smith menjadi duta besar tidak resmi Amerika Serikat, berbicara kepada komunitas masyarakat di seluruh Amerika dan di negara-negara asing, seperti Jepang.
Baca Juga: Kecelakaan Pesawat: Berapa Besar Peluang Kita Untuk Selamat?
Baca Juga: Tujuh Langkah Bertahan Hidup Saat Mengalami Kecelakaan Pesawat
Baca Juga: Mungkinkah Memasang Parasut pada Pesawat Supaya Penumpang Selamat?
Baca Juga: Lima Penyebab Kecelakaan Pesawat yang Paling Umum Terjadi di Dunia
"Pada 25 Agustus 1985, saat bepergian dengan ayahnya menggunakan pesawat, pesawat kecil mereka jatuh," terang Richburg.
Sebuah pesawat Bar Harbor Airlines jatuh saat mencoba mendarat pada minggu malam, menewaskan delapan orang di dalamnya, termasuk Samantha Smith dan ayahnya di dalamnya.
Meski dinyatakan tewas, namun, warisan Smith tetap hidup. Ibunya memulai Samantha Smith Foundation, yang bertujuan menyatukan orang-orang dari berbagai negara dan budaya untuk berbagi pengalaman.
Secara khusus, yayasan mengadakan program pertukaran pelajar dengan Uni Soviet. Di Uni Soviet, berita kematian Smith disambut dengan duka yang mendalam.
Pemerintah Rusia menanggapi dengan mengeluarkan cap khusus untuk menghormatinya dan menamai gunung dengan nama gadis muda itu, Samantha Mountain atau Gunung Samantha.
Kobarkan Semangat Eksplorasi, National Geographic Apparel Stores Resmi Dibuka di Indonesia
Source | : | Washington Post |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR