Meski terampil, Cortés dan seribu pasukan Spanyol serta sekutu pribumi tidak akan mampu mengatasi kota berpenduduk 200.000 tanpa bantuan.
Bantuan datang tidak terduga dalam bentuk epidemi cacar. Cacar segera menyebar ke suku Aztec secara bertahap dari pantai Meksiko. Gunderman menambahkan, “Tahun 1520, penyakit ini berhasil mengurangi 40 persen populasinya dalam satu tahun.”
Cacar disebabkan oleh virus yang terhirup, yang menyebabkan demam, muntah dan ruam. Ruam menutupi tubuh dengan lepuh berisi cairan. Ini berubah menjadi keropeng yang meninggalkan bekas luka. Fatal pada sekitar sepertiga kasus, sepertiga lainnya dari penderita cacar biasanya mengalami kebutaan.
Cacar ada di zaman kuno dalam budaya Mesir, India dan Cina. Penyakit ini tetap menjadi endemik dalam populasi manusia selama ribuan tahun, datang ke Eropa selama Perang Salib abad ke-11. Ketika orang Eropa mulai menjelajahi dan menjajah bagian lain dunia, cacar pun ikut bersama mereka.
Penduduk asli Amerika, termasuk suku Aztec, sangat rentan terhadap cacar. “Mereka tidak pernah terkena virus ini sehingga tidak memiliki kekebalan alami. Tidak ada terapi anti-virus yang efektif yang tersedia pada saat itu.
Mengingat epidemi, satu korban mencatat:
“Wabah itu berlangsung selama 70 hari, menyerang seluruh kota dan membunuh sejumlah besar orang kami. Luka muncul di wajah, payudara, perut; kami dipenuhi dengan luka yang menyiksa dari kepala hingga kaki.”
Seorang biarawan Fransiskan yang menemani Cortés memberi gambaran dalam catatannya:
“Karena orang Indian tidak mengetahui obatnya, mereka mati bertumpuk-tumpuk, seperti kutu busuk. Karena semua orang di rumah meninggal dan tidak mungkin untuk menguburkan semuanya, mereka merobohkan rumah-rumah itu. Sehingga rumah itu menjadi kuburan mereka.”
Cacar menyerang suku Aztec dalam beberapa cara. Pertama, ia membunuh banyak korbannya secara langsung, terutama bayi dan anak kecil. Banyak orang dewasa lainnya tidak berdaya karena penyakit ini.
Baca Juga: Wabah Antoninus, Penyakit Misterius yang Membuat Romawi Jadi Neraka
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR