Nationalgeographic.co.id—Aksi demonstrasi besar dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) di sejumlah titik di Jakarta pada 11 April 2022. Salah satu tuntutan mereka dalam demonstrasi ini adalah menolak dengan tegas penundaan pemilu 2024 ataupun masa jabatan 3 periode presiden karena mengkhianati konstitusi Republik Indonesia.
Tuntutan ini muncul akibat timbulnya wacana perpanjangan masa jabatan presiden untuk Joko Widodo menjadi tiga tahun. Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi ini digaungkan oleh banyak pejabat, termasuk Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Wacana ini menimbulkan kontroversi karena Indonesia telah memiliki aturan yang membatasi seseorang menjadi presiden maksimal dua periode. Aturan batasan masa jabatan presiden ini penting mengingat presiden-presiden yang terlalu lama berkuasa biasanya akan berubah menjadi diktator, tiran, dan banyak merugikan rakyat.
Muammar Khadafi dari Libya, Robert Mugabe dari Zimbabwe, Omar Bongo dari Gabon dan Joseph Stalin dari Uni Soviet adalah contoh beberapa orang yang terlalu lama menjadi presiden. Indonesia juga punya contohnya sendiri, yakni Suharto.
Stephen Kaufman pernah menulis di situs Young African Leaders Initiative (YALI) mengenai sederet manfaat atau kebaikan dari adanya batasan jangka waktu untuk jabatan presiden. Ia juga memuji kebijaksanaan Nelson Mandela dari Afrika Selatan yang terkenal menepati janjinya untuk menjabat sebagai presiden hanya satu periode, meskipun ada dorongan sebagian publik untuk berubah pikiran.
"Sejarah telah menunjukkan bahwa batasan masa jabatan memperkuat institusi demokrasi dalam jangka panjang dan membantu memastikan transisi politik yang damai," tulis Kaufan. Ia merinci manfaat dari adanya batasan periode untuk jabatan presiden adalah sebagai berikut:
1. Petahana jadi kurang mampu menggunakan lembaga negara untuk memanipulasi pemilihan atau mengikis kekuatan cabang saingan pemerintah dan musuh politik.
2. Para pemimpin merasakan lebih banyak tekanan untuk memberikan hasil dan meninggalkan kantor dengan warisan positif.
3. Individu mana pun, tidak peduli seberapa kuat dan populer, tidak dapat menjadi sangat diperlukan.
4. Transisi politik adalah peristiwa yang normal, teratur, dan dapat diprediksi, sehingga pihak-pihak yang bersaing memiliki sedikit insentif untuk mengacaukan sistem melalui kudeta atau cara lain.
5. Kebutuhan untuk mengubah kepemimpinan mendorong generasi pemimpin politik yang sedang naik daun, ide-ide segar, dan kemungkinan perubahan kebijakan.
Pendek kata, selain mencegah seorang presiden populer untuk tetap menjabat, batasan masa jabatan ini juga mempromosikan persaingan sehat yang diperlukan untuk memperkuat institusi demokrasi dan proses demokrasi.
Meski konstitusi di Indonesia telah mengatur bahwa seseorang hanya boleh menjabat sebagai presiden maksimal dua periode, perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi bukanlah wacana yang mustahil. Konstitusi mengenai ini bisa diubah oleh petahana seperti yang pernah dilakukan di Rusia dan Tiongkok.
Sebuah studi yang terbit di jurnal Comparative Political Studies pada 2019 mencatat adanya pemerintahan di beberapa negara yang pernah berusaha mengubah aturan mengenai batas periode jabatan presiden. Studi tersebut dibuat oleh Kristin McKie yang kini menjadi Lektor Kepala Studi Pemerintahan dan Afrika di St. Lawrence University.
Baca Juga: Dari 1966 hingga 2020, Bagaimana Gerakan Mahasiswa Warnai Sejarah?
Baca Juga: Sering Muncul dalam Demonstrasi, Apa itu Gerakan Antifasisme?
"Sejak batas masa jabatan presiden (kembali) diadopsi oleh banyak negara selama gelombang ketiga demokratisasi, 221 presiden di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, dan Asia telah mencapai akhir masa jabatan mereka. Dari jumlah tersebut, 30% telah berusaha untuk melanggar batas jangka waktu, yang mengakibatkan penghapusan penuh, perpanjangan satu periode, atau kegagalan," tulis Kristin McKie dalam makalah studinya tersebut.
Yang dimaksud gelombang ketiga demokratisasi adalah periode antara tahun 1970-an hingga 1990-an. Selama periode tersebut banyak negara yang mulai mengadopsi atau kembali mengadopsi aturan batasan masa jabatan presiden untuk para pemimpin negara-negara mereka.
"Dari presiden-presiden di wilayah gelombang ketiga yang telah mencapai akhir masa jabatan terakhir yang diamanatkan secara konstitusional, hampir sepertiga telah berusaha untuk menghindari undang-undang batas masa jabatan. Dari mereka yang berusaha untuk melanggar batasan masa jabatan, 33% mampu menghapus batasan kepemilikan sama sekali, 45% mendapatkan perpanjangan satu periode, sementara 22% gagal mengubah undang-undang batasan masa dan terpaksa mundur sesuai jadwal," beber McKie.
Source | : | Comparative Political Studies,Young African Leaders Initiative (YALI) |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR