Nationalgeographic.co.id—Menurut laporan terbaru dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), kita hanya memiliki waktu 32 bulan –kurang dari tiga tahun– untuk bertindak bersama dalam membatasi pemanasan global. Sebelum tahun 2025, emisi gas rumah kaca akan mencapai puncaknya.
"Sekarang atau tidak sama sekali jika kita ingin membatasi pemanasan global hingga 1,5°C," ujar Jim Skea, ketua bersama laporan tersebut.
Tentu saja ada banyak cara untuk mengatasi krisis pemanasan global ini. Di antaranya adalah perubahan pada pertanian, sistem pangan, dan pola makan individu, termasuk veganisme.
Veganisme adalah topik yang memecah belah. Diejek oleh banyak orang, tapi juga dipuji sebagai penyelamat iklim oleh banyak orang lainnya.
Orang-orang yang mengadopsi gaya hidup vegan memiliki jejak karbon yang lebih rendah, dan semakin banyak yang mengikutinya, semakin sedikit kita bergantung pada peternakan –sebuah industri yang terkenal dengan dampak negatifnya terhadap lingkungan. Jika proporsi populasi yang cukup besar menjadi vegan, itu mungkin berdampak positif pada planet ini, tetapi dapatkah "menyelesaikan" masalah perubahan iklim?
Apa itu veganisme?
Dikutip dari IFLScience, veganisme adalah gaya hidup yang mengecualikan semua produk hewani, termasuk tidak makan daging, susu, dan telur.
Beberapa laporan mengatakan ada 79 juta vegan di dunia. Di Amerika Serikat, pada 2019, dilaporkan ada 9,7 juta orang vegan, yang merupakan peningkatan 30 kali lipat hanya dalam 15 tahun.
Ketika jumlah vegan terus meningkat, apa artinya ini bagi lingkungan? Untuk menjawab ini sepenuhnya, pertama-tama kita harus mempertimbangkan dampak pertanian itu sendiri terhadap planet ini.
Menurut laporan terbaru IPCC, pertanian dan penggunaan lahan lainnya adalah penyebab utama ketiga emisi gas rumah kaca, di belakang sektor energi dan industri. Penggunaan lahan, termasuk pertanian, bertanggung jawab atas 13 persen karbon dioksida, 44 persen metana, dan 82 persen emisi nitro oksida antara 2007 dan 2016.
Dan peternakan khususnya membuat sebagian besar dari ini. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan bahwa peternakan bertanggung jawab atas 14,5 persen dari semua emisi gas rumah kaca –sekitar 7,1 miliar ton karbon dioksida per tahun. Sementara studi lain menemukan bahwa daging menyumbang hampir 60 persen emisi gas rumah kaca global dari produksi pangan.
Baca Juga: Perubahan Tubuh Pria Kembar: Yang Satu Vegan, Lainnya Pemakan Daging
Baca Juga: Vegan Diet, Memangkas Risiko Kanker Prostat
Baca Juga: Ternyata Mengubah Isi Piring Dapat Menyelamatkan Kesehatan dan Bumi
Baca Juga: Ingin Menjadi Vegetarian? Berikut Lima langkah Awal yang Bisa Dilakukan
Selain berkontribusi pada emisi gas rumah kaca, peternakan sering disertai dengan deforestasi skala besar, membutuhkan banyak air, pupuk, dan penggunaan lahan, serta menghasilkan banyak limbah, yang semuanya berkontribusi pada dampak negatif lingkungan.
Ada banyak penelitian di luar sana yang dimaksudkan untuk menentukan dampak veganisme terhadap lingkungan, dan hasilnya seringkali bertentangan. Tapi satu hal yang kita tahu pasti adalah bahwa makanan nabati membuat dampak lingkungan yang lebih kecil daripada makanan hewani.
"Makanan nabati memiliki dampak 10-100 kali lebih rendah daripada daging ruminansia [domba, sapi, kambing, dll] pada iklim, energi, polusi air, polusi udara, penggunaan lahan, dan penggunaan air tawar," ujar Pete Smith, Profesor Tanah dan Perubahan Global di University of Aberdeen dan Science Director dari Scotland's ClimateXChange.
"Diet vegan memiliki setengah jejak iklim dari diet rata-rata."
Apa artinya ini dalam hal emisi?
Veganisme adalah "salah satu cara paling ampuh untuk mengurangi jejak karbon pribadi seseorang," kata Marco Springmann, Peneliti Senior tentang Keberlanjutan Lingkungan dan Kesehatan Masyarakat dari Nuffield Department of Population Health di University of Oxford.
Satu studi baru-baru ini menyarankan bahwa jika semua orang di dunia menjadi vegan dan praktik peternakan dihentikan, gas rumah kaca akan stabil selama 30 tahun. Ada banyak penelitian lain yang mengklaim temuan serupa, yakni transisi global ke pola makan vegan dapat mengurangi emisi terkait makanan hingga 70 persen.
Pada tahun 2050, perubahan ke gaya hidup vegan seharusnya bisa membebaskan jutaan kilometer persegi tanah dan memangkas emisi karbon dioksida sebesar 8 miliar ton per tahun. Sementara itu, makan daging atau makanan laut hanya sebulan sekali dapat mengurangi emisi hingga hampir 6 miliar ton per tahun, dan pola makan "fleksitarian" –menggantikan tiga perempat konsumsi daging dan susu dengan alternatif nabati– dapat menghemat emisi lebih dari 5 miliar ton.
Menurut Smith, veganisme global "akan mengurangi 14 persen emisi [gas rumah kaca] global—dan membebaskan lahan untuk menyerap karbon—jadi mungkin lebih.”
Tentu saja, tidak mungkin seluruh populasi dunia akan beralih menjadi vegan. Namun, kata IPCC, setiap hal kecil membantu dalam hal membuat pilihan makanan yang lebih berkelanjutan.
"Jika perlu, pergeseran ke pola makan dengan porsi protein nabati yang lebih tinggi, asupan makanan sumber hewani yang moderat dan pengurangan asupan lemak jenuh dapat menyebabkan penurunan substansial dalam emisi gas rumah kaca," bunyi laporan terbaru.
"Manfaatnya juga akan mencakup pengurangan pendudukan lahan dan hilangnya nutrisi ke lingkungan sekitarnya, sementara pada saat yang sama memberikan manfaat kesehatan dan mengurangi kematian akibat penyakit tidak menular yang berhubungan dengan pola makan."
Smith menegaskan bahwa gaya hidup vegan bukanlah peluru ajaib untuk masalah perubahan iklim, “tetapi itu bisa memberikan kontribusi besar.”
Source | : | IFLScience.com |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR