"Hanya sedikit studi fosil dari daerah tropis Asia," kata Slik. "Saya berharap penelitian ini akan merangsang lebih banyak upaya penelitian tentang fosil di daerah tropis karena mereka akan memberi tahu kita banyak tentang sejarah alam wilayah tersebut."
Wilf dan timnya menemukan berbagai macam fosil daun dan buah-buahan, termasuk banyak kelompok tumbuhan yang asli saat ini tetapi belum pernah ditemukan sebelumnya sebagai fosil di Kepulauan Melayu. Ini termasuk tiga genera dipterokarpa yang berbeda, seperti Dryobalanops, yang spesiesnya hampir semuanya terancam.
Slik mengatakan tim merekonstruksi ekosistem purba hampir persis seperti yang ditemukan di Brunei saat ini.
"Dengan menyertakan serbuk sari, kami mendapatkan representasi yang cukup lengkap dari lingkungan bakau dan rawa, dibatasi oleh hutan hujan dipterokarpa dataran rendah tropis dengan tumbuhan paku yang sangat beragam dan banyak tanaman memanjat, termasuk lebih banyak pakis, jujube dan aroid. Jadi kita bisa benar-benar melihat seperti apa lingkungan jutaan tahun yang lalu," tutur Wilf.
"Itu sangat mirip dengan apa yang dapat Anda temukan di sana sekarang, meskipun habitat itu telah ditebang di sebagian besar Asia tropis."
Wilf mengatakan salah satu motivasi dilakukannya penelitian ini adalah untuk mendorong konservasi kawasan tersebut.
"Hutan hujan tropis adalah tempat keanekaragaman hayati berada. Brunei seukuran Delaware, tetapi memiliki lebih dari tujuh kali keanekaragaman tumbuhan di seluruh Pennsylvania," katanya.
"Daerah ini memiliki iklim yang selalu basah mirip dengan Amazon atau hutan hujan Afrika tengah. Ini adalah rumah bagi kehidupan hewan yang spektakuler seperti bekantan, buaya, rangkong badak, macan tutul, beruang madu, kadal terbang, babi berjanggut, dan kukang."
Meskipun Borneo atau Kalimantan adalah salah satu hotspot keanekaragaman hayati yang besar di Bumi dan hutan hujannya kuno, keanekaragaman hayatinya menyusut karena penebangan, konversi pertanian, dan perubahan iklim.
Source | : | eurekalert,PeerJ |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR