Baca Juga: Manisnya Pabrik Gula Era Hindia Belanda yang Kini Masih Terasa
Baca Juga: Singkap Jejak Kediaman Sang Mayor yang Meraja Gula di Surabaya
Hasil produksinya di ekspor dan perdagangan hasil buminya makin diperluas. Oei Tiong Ham mulai membuka kantor di Inggris, daratan Eropa, Amerika, Jepang, dan Australia. Bisnisnya meliputi empat benua (kecuali Afrika), termasuk pabrik alkohol di Shanghai.
Kalau dibandingkan dengan keadaan sekarang, kerajaan bisnisnya setingkat dengan perusahaan-perusahaan multinasional, yang dikendalikan dari Singapura. Lapangan kerja yang diciptakan mencapai ratusan ribu.
Ketika meninggal di tahun 1924, Oei Tiong Ham berada di puncak kejayaannya. Perang Dunia I membawa keuntungan besar karena melonjaknya harga hasil bumi, terutama gula.
Indrawan mengungkapkan bahwa pascamangkatnya Oei, "bisnisnya lalu dilanjutkan oleh beberapa dari 26 anaknya."
Namun, memasuki tahun 1930-an, terjadi krisis Malaise dan Perang Dunia II lewat pendudukan Jepang di Hindia-Belanda telah merampas pabrik-pabriknya.
masa revolusi fisik di antara tahun 1945-1950, membuat bisnis Oei Tiong Ham Concern di Indonesia menjadi surut.
Masa-masa sulit terjadi manakala pada pemerintahan Kabinet Parlementer dan Demokrasi Terpimpin (1950-1960), adanya nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, membuat mega bisnis Oei digabungkan dengan penerapan sosialisme ala Indonesia.
"Oei Tiong Ham Concern yang berusaha bangkit tidak dapat menyesuaikan diri, sernentara para ahli waris Oei Tiong Ham terlibat dalam sengketa internal tentang siapa yang memiliki dan menjalankan usaha," pungkasnya.
Akibat sengketa berkepanjangan, pada tanggal 10 Juli 1961, pengadilan rnemutuskan untuk menyita seluruh kekayaan Oei Tiong Ham Concern sekaligus menandai berakhirnya konglomerasi Oei Tiong Ham di Indonesia.
Source | : | 1000 Tahun Nusantara (2000) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR