"Jadi ini cikal bakal bagaimana seorang pelukis Mooi indie tetap mencintai bangsanya sendiri," kata Mikke.
Dalam salah satu lukisannya tentang gunung dan sawah yang dibuat sekitar 1900-1930, dia punya pemahaman menarik bagaimana memahami alam dan masyarakat Hindia. Lukisan ini dikoleksi oleh Sukarno dan sampai hari ini masih ada di Istana Kepresidenan.
Pada lukisan gunung, menurut Mikke, apa yang dipahami Abdullah tidak sekadar keindahan, tetapi juga potensi malapateka sebagaimana yang dipahami orang Jawa. Gunung bisa menmunculkan hal yang misterius seperti makhluk halus.
Abdullah jarang memasukkan unsur figur manusia di dalam lukisannya, tetapi pemahaman masyarakat Hindia Belanda bisa tertera dalam lukisan ini.
Pada sawah yang ditorehnya, merupakan gambaran kesejahteraan. Tetapi, pada realitasnya petani yang mengelolanya pada masa itu menghadapi masalah kehidupan seperti kemiskinan, kebodohan, dan kesengsaraan. Pandangan itu diperkuat dengan keberadaan rumah terbuat dari bambu di dalam lukisan, yang menurut Mikke, berhubungan dengan kehidupan miskin.
Mikke menilai, Abdullah juga berhasil menghadirkan suasana seperti hangat-dingin, kesegaran, dan aroma. Menurutnya, cara itu sulit dicapai oleh pelukis pemandangan alam pada umumnya.
Baca Juga: Seniman-Seniman Lukis Pertama di Dunia Berasal dari Indonesia?
Baca Juga: Menyaksikan Sejarah Alam Gunung Merapi dari Pelukis ke Pelukis
Baca Juga: Basoeki Abdullah: Menyirat Nilai Budaya dan Kemanusiaan dalam Lukisan
Baca Juga: Lukisan Harimau Raden Saleh: Jejak Nestapa Satwa di Pulau Jawa
Abdullah Suriosubroto lahir di Surakarta, 17 Oktober 1878. Kemampuannya di bidang seni ditularkan kepada ketiga anak-anaknya yang tidak kalah berbakat dan terkenal, yaitu Basoeki Abdullah, Sudjono Abdullah, dan Trijoto Abdullah.
"Basoeki Abdullah jadi penerus gaya mooi indie, kemudian dianggap jadi pengakhir mooi indie di Indonesia. Sedang Sudjono Abdullah, dia menjadi bagian seni lukis pemandangan dengan gayanya sendiri," kata Mikke. "Trijoto Abdullah jadi perempuan pematung pertama di Indonesia."
Abdullah Suriosubroto menghabiskan masa tuanya di Bandung, Solo, dan Yogyakarta. Sebab, baginya, ketiga kota ini memiliki pemandangan indah. Dia wafat pada 17 Agustus 1942 dan dimakamkan di Jombor, Yogyakarta.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR