Nationalgeographic.co.id—Tiga tahun sebelum menyongsong kemerdekaan Republik Indonesia, tahun-tahun datangnya tentara Jepang ke Indonesia, seorang keturunan Tionghoa lahir di bumi pertiwi. Dialah Soe Hok Gie.
"Soe" begitu panggilannya, namun kebanyakan barisan buku dan novel banyak yang menyebutnya "Gie". Dialah Soe Hok Gie, lahir pada 17 Desember 1942. Seorang aktivis yang dikenal kritis terhadap rezimnya Soekarno.
Sejak mengenyam bangku SMA, Gie menghabiskan banyak waktu melahap buku demi buku. Ia jadi remaja tanggung yang kerap kali bertanya banyak hal kepada gurunya. Tidak jarang juga memprotes guru-gurunya di sekolah karena nilainya yang kurang memuaskan.
Kurang memuaskan, barangkali kata yang selalu bisa disandingkan dengan figur Soe Hok Gie. Rizal Amirido menulis dengan tim risetnya tentang sikap 'ketidakpuasannya' tentang kekuasaan.
Rizal Amirido menulis dalam jurnal Program Studi STKIP Sidoarjo berjudul Soe Hok Gie dalam Pergerakan Mahasiswa 1942-1969 yang diterbitkan tahun 2014.
Ia menggambarkan sosok Gie yang menempatkan kesejahteraan rakyat di atas segalanya. Dari sana, ia melihat tidak adanya rezim yang benar-benar membuat rakyatnya mencapai titik kesejahteraan.
"Ketika sebuah rezim kekuasaan tersebut telah begitu parah, misalnya sang pemimpin asyik senang-senang dengan para selirnya, sedangkan korupsi merajalela dilakukan para pembantunya sementara rakyat menderita kelaparan," tulisnya.
Gie memandang betapa rezim Soekarno sudah tidak layak dipertahankan. Pemerintahan "tirani, otoriter, dan banyak pejabatnya melakukan korupsi," imbuhnya.
Daniel Dakhidae menulis dalam bukunya berjudul Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong tokoh-tokoh dari sang demonstran, Soe Hok Gie, sampai Putra Sang fajar Bung Karno yang terbit pada 2015. Dia mengungkap sosok Gie yang selalu merasa kecewa dengan kekuasaan.
Menurutnya, Soe Hok Gie berpandangan bahwa "kekuasaan adalah antipati dari moralitas." Maka dari itu, Gie sendri—secara prinsipil—selalu menempatkan dirinya di luar ranah kekuasaan.
Sebaliknya, ia akan terus melancarkan kritik tajamnya pada orang yang tengah berdiri di tampuk kekuasaannya. Kala itu, Soekarno lah orang yang selalu ia tuju. Melalui pergerakan bawah tanahnya, Soe Hok Gie bertekad keras untuk dapat meruntuhkan rezim yang tengah berkuasa.
Aktivisme kampus adalah jalan sejarah yang menggariskan hidup Gie. Namanya mulai masuk dalam buku sejarah, manakala pergerakan kemahasiswaannya dianggap berpengaruh besar terhadap turbulensi politik Orde Lama.
GMS (Gerakan Mahasiswa Sosialis) menjadi kendaraan bagi Gie untuk melancarkan sejumlah aksi, mulai dari turun ke jalan hingga melakukan demonstrasi.
Rizal menambahkan, saat mahasiswa terpecah dengan urusannya masing-masing, Soe Hok Gie tampil menjembatani kepentingan elemen gerakan mahasiswa, baik ekstra maupun intra pada satu tujuan kritis: kekuasaan.
Untuk menajamkan pergerakannya, Gie melampaui aral pergerakan yang tak mudah. Perjalanan panjang ditempuhnya untuk merangkul kekuatan militer Indonesia kala itu.
Akhirnya, Soe Hok Gie mulai kenal dengan Nugroho Notosusanto yang dekat dengan Kolonel Suwarto. Dari sana, ia berhasil memantapkan langkahnya diiringi dengan kekuatan militer.
Setelahnya, ia bergerak menuju saluran komunikasi yang umum dengan masyarakat luas. Gie bergerak untuk menjalin hubungan dengan para penyiar radio Ampera. Siaran berisi kritik bisa dilancarkan di sana berkat para tentara yang mendukung Gie.
Ia meyakinkan pada segenap pendengar Ampera, bahwa Soekarno sudah tidak layak untuk dipertahankan. Propagandanya mengalir deras kala itu.
Baca Juga: Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie
Baca Juga: Tatkala Soekarno Memikat Wanita dengan Menulis Sajak-Sajak Cinta
Baca Juga: Kunjungan Singkat dan Kisah Lodeh Buatan Hartini yang Memikat Soekarno
Baca Juga: Alat Politik Soekarno: Sepak Bola Sebagai Medium Perjuangan Bangsa
Lebih jauh, bentuk kerja sama militer dengan mahasiswa, "terlihat dengan tidak sedikitnya aktivis rnahasiswa yang membawa senjata api," sebut Rizal. Ia menambahkan, "Gie pernah membawa senjata kaliber FN 9 mm diranselnya meski senjata itu dipinjam dari temannya."
Meski begitu, Gie tidak bisa kemana-mana. Kawalan ketat dan respons cepat dari pendukung Soekarno dapat meredam pergerakan mahasiswa.
Namun Gie tidak berdiam diri bergitu saja. Ketegangan politik di Indonesia menyebarkan kekhawatiran bahwa krisis kekuasaan sudah di ambang pintu. Saat itu Soe dan teman-temanya hanya dapat menunggu momentum yang tepat.
"Mereka diam-diam mendorong orang-orang di sekitarnya agar tiduk kehilangan semangat sementara mereka menunggu terbukanya celah untuk menerobos sistem tersebut," tulis Rizal lagi.
Konfrontasi PKI di tahun 1965 secara langsung membuat tampuk kekuasaan Soekarno terancam. Setelahnya, secara perlahan Soeharto beserta kekuatan militernya mengambil kekuasaan dari Soekarno dan memulai era Orde Baru di Indonesia.
Source | : | Jurnal Program Studi STKIP Sidoarjo,Menerjang Badai Kekuasaan (2015) |
Penulis | : | 1 |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR