Nationalgeographic.co.id—Agrarische Wet 1880 tampaknya berimbas pada peningkatan pendapatan pemerintah kolonial. Tanpa disadari, secara perlahan, mendorong masuknya pemerintahan liberal.
Keberhasilan ini lantas membawa kehidupan masyarakat ke fase baru. Perkebunan (onderneeming) dan pertambangan jadi motor yang digunakan pemerintah Belanda sebagai komoditas ekspor pemerintah kolonial.
"Sebagai penunjang bagi perkembangan perkebunan dan pertambangan yang pesat maka pemerintah Belanda telah membangun berbagai prasarana sebagai alat transportasi," tulis Yusi Ratnawati.
Ia menulis dalam Journal of Indonesian History berjudul "Perkembangan Perkeretaapian Pada Masa Kolonial di Semarang Tahun 1867-1901" yang terbit pada tahun 2015.
Yusi menyebut bahwa "kereta api di Pulau Jawa bertalian erat dengan kebutuhan akan sarana pengangkutan barang-barang atau hasil produksi."
Peningkatan hasil perkebunan dan pertanian, mendorong pemerintah Hindia Belanda menambah transportasi darat yang dapat menembus ke wilayah-wilayah pedalaman Jawa, khususnya di Jawa Tengah.
Penggunaan moda transportasi dengan biaya yang lebih murah, lebih cepat untuk mengangkut hasil perkebunan dan pertanian dalam kapasitas yang besar, menjadi alasan pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta api.
Pelopor perkeretaapian di Indonesia adalah NV Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), suatu badan usaha swasta yang berdiri pada tahun 1862.
"Berdasarkan konsesi yang diberikan oleh Pemerintah kolonial Belanda, NISM membuka jalur kereta api pertama yang menghubungkan antara Semarang-Vorstenlanden (Yogyakarta-Solo)," imbuhnya.
Pembukaan trayek jalur kereta api inilah yang menandai dimulainya sejarah perkeretaapian di Semarang, bahkan di Indonesia.
Berdasarkan Conssesie Gouverment Besluit No.1 tanggal 28 Agustus 1862, proses pembangunan dilaksanakan mulai dari desa Kemijen di Semarang, menuju ke stasiun Tanggung yang berada di daerah Purwodadi (kala itu bagian dari Vorstenlanden).
"Pada awal digunakannya kereta api sebagai salah satu moda transportasi di Semarang, para penduduk pribumi memiliki anggapan bahwa kereta api merupakan kendaraaan hantu," terangnya.
Source | : | Journal of Indonesian History (UNNES) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR