Nationalgeographic.co.id—Memang benar, Surakarta jadi salah satu kota yang paling nyentrik dan identik dengan olahraga. Hal itu dapat dilihat dari antusias rakyatnya dalam menyambut PON pertama di Indonesia.
Namun, dari sekian banyaknya cabang dan jenis olahraga, masyarakat Surakarta mayoritas lebih menggilai sepak bola. Ada pula sumber yang mengaitkan perkembangan sepak bola di Surakarta dengan sosok Mangkunegara VII.
Mangkunegara VII meletakkan legitimasi kekuasaannya pada segala bidang olahraga, tak terkecuali sepak bola. Hal itu dibuktikan dengan suatu mandat untuk memfasilitasi masyarakatnya.
"Pada tahun 1935 diperintahkan agar pada setiap onderdistrik disediakan paling sedikit satu lapangan yang cukup luas," tulis Yogi Renanto dalam skripsinya berjudul Pembangunan di Bidang Olahraga di Praja Mangkunegaran Masa Mangkunegara VII (1916-1944) yang terbit pada tahun 2010.
Penyediaan fasilitas lapangan yang cukup luas tidaklah lain untuk dapat menampung hasrat rakyat yang ingin bermain sepak bola. Tidak berhenti di situ, Mangkunegara VII sudah memikirkan pendirian suatu federasi dan pembentukan komunitas persepak bolaan profesional.
Lahirnya federasi sepak bola Hindia Belanda, membuat Mangkunegara VII ingin turut berpartisipasi di dalamnya. Ia berupaya mengembangkan para pemain yang handal ke dalam satu bond sepak bola.
Yogi menambahkan, "untuk mencari bibit-bibit pemain, diadakan piala bergilir Wedana untuk tingkat onderdistrik dan piala bergilir Bupati untuk daerah Kawedanan."
Selain karena adanya kompetisi-kompetisi sepak bola profesional, para pemain muda praja yang berbakat dapat bergabung ke dalam Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB). VVB merupakan persatuan pesepak bola profesional yang berbasis di Solo.
Bond ini pertama kali didirikan oleh Sastrosaksono dari klub Mars serta Raden Ngabehi Reksohadiprojo dan Sutarman dari klub Romeo. VVB akhirnya diresmikan pada 8 November 1923 yang dikemudian hari dikenal dengan klub PERSIS Solo.
Mangkunegara VII mengambil andil besar dalam perkembangan dan kemajuan sepak bola di Surakarta. Ia kerap juga menyelenggarakan event besar olahraga. Sebut saja Sportweek Olahraga Oktober 1935 yang diselenggarakan di Stadion Sriwedari.
Menurut Yogi, kala itu "biaya masuk untuk menyaksikan pertandingan di stadion Sriwedari adalah sebesar f.0,50 gulden untuk tribun, f.0,25 gulden untuk samping, dan f.0,15 untuk (penonton yang) berdiri."
Memasuki tahun 1942, saat Jepang mulai menduduki Kota Solo, sarana olahraga semakin ditingkatkan. Hal ini bertalian erat dengan motif Jepang untuk melatih kemampuan militer rakyat Solo.
Seperti halnya penambahan lapangan di Gilingan dan Prawit yang dibuat untuk menampung besarnya antusias masyarakat terhadap sepak bola. Di tahun-tahun berikutnya, banyak lapangan terus dibuat oleh Mangkunegara VII.
Perluasan fasilitas lapangan sepak bola menjadi empat lapangan besar yang dibuat Mangkunegara VII, meliputi lapangan Ngentak-Wetan, Gilingan, Prawit, dan Pamedan.
Para praja Mangkunegaran akhirnya bisa terlibat juga dalam aktifitas olahraga yang diciptakan Mangkunegara VII. Tidak sedikit dari mereka juga menjadi pemain sepak bola profesional dibuatnya.
Membedah Target Ambisius Mozambik Memaksimalkan Potensi 'Blue Carbon' Pesisirnya
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR