Nationalgeographic.co.id - Sebelum Romawi, Yunani adalah satu-satunya bagian Eropa yang memiliki toilet. Namun pada puncak Kekaisaran Romawi pada abad ke-3 Masehi, bangsa Romawi memperkenalkan sanitasi ke sebagian besar wilayah mereka. Ini artinya penggunaan toilet sudah dikenal di wilayah Romawi di Eropa barat dan selatan, Timur Tengah dan Afrika Utara.
Bangsa Romawi kuno memiliki sistem toilet yang mengesankan. Mereka menggunakan jamban duduk, selokan, air bersih di saluran air, serta pemandian umum yang elegan. Undang-undang pun dibuat, mengatur orang kota untuk menyingkirkan sampah dari jalanan. Bisa dibayangkan betapa bersih dan higienisnya bangsa Romawi.
Namun ternyata undang-undang, sistem toilet, atau pemandian umum yang elegan tidak menjamin kebersihan dan kesehatan orang Romawi. Mereka tidak sebersih yang dikira.
Penelitian klinis modern menunjukkan bahwa toilet dan air minum bersih mengurangi risiko infeksi saluran cerna oleh bakteri, virus, dan parasit. 2 hal ini tidak dimiliki oleh masyarakat dari Zaman Perunggu dan Besi di Eropa. Jadi bisa disimpulkan bahwa tingkat kebersihan dan kesehatan bangsa Romawi lebih baik dibanding zaman sebelumnya.
Mandi teratur dan menjaga kebersihan tubuh juga membuat ektoparasit seperti kutu pun berkurang. Pemandian umum di masa itu memungkinkan orang Romawi untuk membersihkan diri dengan teratur.
Namun sebuah studi yang diterbitkan di Parasitology menyanggah pendapat di atas. Piers Mitchell, penulis studi, mengumpulkan bukti arkeologis untuk parasit usus dan ektoparasit di dunia Romawi. Bukti-bukti yang terkumpul digunakan untuk mengevaluasi dampak teknologi sanitasi Romawi terhadap kesehatan.
Studi ini membandingkan spesies parasit yang ada sebelum Romawi, Zaman Perunggu dan Zaman Besi. Juga setelah zaman Romawi di awal abad pertengahan.
“Saya menemukan sejumlah temuan mengejutkan,” ungkap Mitchell. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada penurunan parasit yang disebarkan bahkan setelah ada sanitasi yang lebih baik.
Alih-alih berkurang, infeksi parasit seperti cacing cambuk, cacing gelang dan disentri secara bertahap meningkat selama periode Romawi. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi sanitasi Romawi seperti kakus, selokan, dan air bersih tidak seefektif yang dibayangkan.
Ada kemungkinan bahwa manfaat yang diharapkan dari teknologi ini tidak tercapai karena efek undang-undang. Ada undang-undang yang mengharuskan limbah dari jalan dibawa ke luar kota. Teks-teks dari periode Romawi menyebutkan bagaimana kotoran manusia digunakan untuk menyuburkan tanaman. Ini menyebabkan telur parasit dari kotoran manusia mencemari tanaman dan mengifeksi kembali saat makanan dikonsumsi.
Temuan lainnya menunjukkan tidak ada tanda-tanda penurunan ektoparasit setelah diperkenalkannya fasilitas pemandian umum untuk menjaga kebersihan penduduk. Analisis jumlah kutu di York menemukan jumlah parasit yang sama di lapisan tanah Romawi dan di abad pertengahan.
Dengan adanya pemandian umum, bangsa Romawi diharapkan untuk mandi teratur dan ektoparasit pun berkurang. Namun hasil temuan menunjukkan bahwa pemandian Romawi tidak memiliki efek menguntungkan bagi kesehatan.
Baca Juga: Orang Romawi Kuno Telah Gunakan Toilet Portabel, Ini Penampakannya
Baca Juga: Melihat Kediaman Kaisar Hadrian yang Luasnya Melebihi Kota Pompeii
Baca Juga: Poena Cullei, Hukuman Mati dengan Karung yang Mengerikan di Era Romawi
Cacing pita ikan juga umum ditemukan di wilayah Romawi di Eropa. Pada Zaman Perunggu dan Zaman Besi Eropa, telur cacing pita ikan hanya ditemukan di Prancis dan Jerman. Namun, di bawah Kekaisaran Romawi, cacing pita ikan ini ditemukan di enam negara Eropa yang berbeda.
Salah satu kemungkinan penyebab distribusi parasit adalah adopsi kebiasaan kuliner Romawi. Garum adalah saus fermentasi mentah yang terbuat dari ikan, rempah, dan garam. Ini merupakan makanan yang populer di masa itu.
Ada kemungkinan bahwa garum yang dibuat di Eropa Utara mengandung ikan yang terinfeksi cacing pita ikan. Jika diperdagangkan ke bagian lain kekaisaran, dapat menginfeksi orang-orang yang tinggal di luar daerah endemik penyakit tersebut.
Kebersihan di dalam toilet umum Romawi
Seorang antropolog di Universitas Brandeis, Ann Olga Koloski-Ostrow, mengamati penggunaan jamban umum Romawi.
Tanpa pengetahuan tentang bagaimana penyakit menyebar, pengaturan jamban Romawi hampir tidak bisa disebut higienis menurut standar modern.
Misalnya, torsorium atau spons untuk menyeka bokong, digunakan secara bergantian oleh pengunjung jamban umum. Jadi, jika salah satu pengunjung jamban umum ini menderita cacingan, bukan tidak mungkin orang lain pun akan memiliki penyakit yang sama.
Foricae atau jamban umum memiliki atap rendah dan jendela kecil yang membuat sedikit cahaya masuk. Terkadang orang melewatkan lubang karena tidak terlihat, sehingga lantai dan kursi jamban pun menjadi kotor. Dapat dibayangkan bagaimana aroma di tempat itu jika tidak ada yang membersihkannya.
Undang-undang soal kotoran atau sampah harus disingkirkan dari jalan juga membuat foricae menjadi tempat untuk ‘menyembunyikan’ kotoran. Yang terburuk dari jamban umum ini adalah selokan di bawahnya yang rumah nyaman bagi hama. Sebut saja tikus, ular, dan laba-laba bersarang di sana.
Kotoran yang dialirkan ke Sungai Tiber mencemari air yang digunakan untuk irigasi, mandi dan minum. Jadi meski tidak terlihat dan tercium, kotoran tersebut tetap mendatangkan bahaya bagi kesehatan.
“Penelitian ini bukan untuk menyatakan bahwa sanitasi yang dibuat bangsa Romawi tidak berguna,” Mitchell menambahkan. Jamban umum sangat berguna ketika orang mendadak harus menggunakan toilet atau bahkan tidak memiliki jamban di rumah. Tetapi bukti arkeologis tidak menunjukkan manfaat kesehatan dari sanitasi ini. Selain itu, Romanisasi menyebabkan peningkatan spesies parasit tertentu karena perdagangan dan migrasi di seluruh kekaisaran.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR