Nationalgeographic.co.id—Tak banyak yang kenal dengan tradisi para santri Al Mukmin di Ngruki, Surakarta, secara turun temurun. Mereka terbiasa menikmati liburan akhir tahun sebelum kepulangan ke rumah dengan jelajah dan tadabur alam.
Ini juga yang terjadi kepada mereka, para santri dan ustaz yang hendak melakukan berkemah ke Gunung Lawu. Sebagai program pondok, jelajah alam adalah bagian dari cara pembelajaran di Al Mukmin untuk mengenalkan alam semesta sebagai bukti keagungan Allah SWT.
Kisah perjalanan ini, penulis dapatkan dari sebuah buku yang fenomenal berjudul Kisah Nyata: Musibah Gunung Lawu yang ditulis tim redaksi Pondok Pesantren Islam Ngruki Surakarta sekitar tahun 1988.
Keberangkatan
Pihak Pondok Pesantren Al Mukmin telah menyediakan perbekalan untuk membekali para ustaz dan santrinya berkemah di Lawu. Dana sebesar Rp148.800,- dan beras seberat 200 kg diangkut bersama dengan 119 orang (termasuk 3 ustaz, 5 pembimbing senior, 1 karyawan, dan 110 santri) ke dalam dua truk.
Mereka mulai berangkat pada hari Senin, 14 Desember 1987 pukul 06.00 WIB, dan akan kembali 4 hari kemudian pada Kamis, 17 Desember 1987.
Persiapan matang diusung dengan membagi sejumlah santri ke dalam 5 regu atau kelompok di mana di masing-masing kelompoknya terdapat 3 ustaz sebagai pengawas dan pembimbing. Di sampingnya juga ada 5 santri senior yang bertindak sebagai koordinator masing-masing kelompok.
Dengan suka cita, mereka sampai di Tawangmangu (Karanganyar) pada pukul 10.00 WIB. Dari sana, perjalanan dilanjutkan sampai ke bumi perkemahan Mojosemi dengan satu colt Isuzu dan empat colt diesel. Sampailah di bumi perkemahan pada pukul 11.00 WIB.
Sesampainya di sana, mereka berkemah dengan membangun enam buah tenda—tiga tenda untuk para santri, satu tenda untuk para ustaz, dan satu tenda untuk keperluan dapur. Di sana, mereka memutuskan bermalam dulu sebelum akhirnya melanjutkan ekspedisi pada keesokan harinya, Selasa, 15 Desember 1987.
Kronologi
"Pagi hari, seusai salat subuh, mereka mulai dibagi sesuai dengan kelompok atau regunya seperti sebelum pemberangkatan dari pondok," tulis tim redaksi dalam bukunya. Saat matahari bergerak semakin naik pada 07.00 WIB, perjalanan ekspedisi dimulai.
Hanya dengan pakaian kaos dan celana ala kadarnya, mereka dibekali dengan nasi dan ikan asin, ditambah dengan mi instan, 3 liter air putih, dan sekantung kotak obat-obatan P3K. Setiap anak akan mendapat jatah makan satu kali dan kembali ke tenda pada pukul 15.00 WIB.
Tugas mereka adalah menyisir perjalanan sambil membuka rute pendakian dengan babat alas (membuka hutan) atau memotong semak belukar dengan bekal golok. Ustaz Jamaludin sebagai koordinator umum, tak mengharuskan mereka sampai puncak, yang penting kembali pada sore harinya (15.00 WIB).
Eksodus perjalanan regu dibagi menjadi dua arah: Regu I, III, dan V mengambil jalan sebelah kanan dari perkemahan, sedang Regu II dan IV ke arah kiri perkemahan. Siulan dan yel-yel suka cita mengiringi mereka, menuruti hasrat jiwa muda untuk bertualang.
Ustaz Muchtar Tri Harimurti, guru di SMA Al Islam 1 Surkarta yang kala itu juga turut berkemah di Gunung Lawu pada waktu yang sama, menyebut pada siang hari itu, Selasa, 15 Desember 1987 menjadi siang yang gelap pekat, bak akan turun hujan, mengubah suasana menjadi mencekam.
Meski masih siang, penerangan dengan lampu sudah mulai digunakan para santri untuk menerangi petualangan mereka. Pekikan takbir menjadi isyarat komunikasi antar regu bahwa mereka tetap berada di trek yang benar.
Baca Juga: Jangan Anggap Remeh Pendakian, Hipotermia Bisa Menyerang Siapapun
Di luar dugaan, mereka yang seharusnya sampai pada pukul 15.00 WIB sore, baru sampai ke perkemahan pada pukul 18.00 WIB.
Secara berangsur-angsur, Regu I sampai lebih dulu, disusul Regu IV dan kemudian Regu V pada pukul 20.30 WIB. Kabut dan hujan lebat jadi alasan keterlambatan mereka. Namun, Regu II dan III belum juga kembali hingga keesokan paginya!
Sempat Tersesat
Regu II melalui perjalanan yang berat dan terjal. Sejak siang hari Lawu sudah diguyur hujan lebat, membuat kabut turun meneball. Gelap gulita, hanya cahaya lampu senter yang bersisa.
Mereka kesulitan untuk kembali lagi ke perkemahan, sehingga pada pukul 19.00 WIB, Regu II memutuskan untuk menginap secara darurat. Perih di perut karena lapar telah menghantui semalaman, membuat mereka kesulitan tidur. Wajar saja, 16 nasi bungkus dan Supermie sudah dilahap habis sejak siang tadi. Toh, mereka tidak berpikir sampai bermalam lagi di tengah hutan yang tak jelas rimbanya.
Hujan yang mengguyur telah membasahi pakaian mereka. Semakin larut, semakin menggigit rasa dinginnya. Banyak dari Regu II jatuh sakit. Beruntung, dalam kelompok tersebut ada Slamet Jafar, seorang yang punya pengalaman dalam hal medis dan pengobatan.
"Satu remason di tangan Jafar mampu untuk mengobati lima atau enam anak yang benar-benar membutuhkan perawatan saat itu juga," imbuhnya. Pertolongan yang tampaknya tepat, mengatasi dingin lewat baluran remason, akan cukup menghangatkan tubuh yang sakit akibat kedinginan.
Setelah fajar menyingsing, Rabu, 16 Desember 1987, meski masih hujan, Regu II bangkit lagi dari istirahatnya dan melanjutkan perjalanan untuk mencari jalan kembali ke perkemahan.
Dengan sisa tenaga, mereka melanjutkan perjalanan hingga akhirnya jam 08.00 WIB mereka berhasil menemukan sungai. Mereka melampiaskan rasa haus dan laparnya dengan meminum air dan memakan tumbuhan di sekitarnya. Meskipun, tanaman bilung yang mereka makan meninggalkan rasa perih di mulut dan lidah.
Dari sungai itu, mereka terus menyusurinya hingga menemukan pipa selang air. Dari sana, mereka terus mengikutinya dan berhasil sampai ke perkemahan Mojosemi pada pukul 10.00 WIB.
Petaka Regu III
Lain halnya dengan Regu II, Regu III memulai perjalanan sejak Selasa, 15 Desember 1987 dengan perasaan semangat dan ceria. Meski diguyur hujan dan terasa mencekam, jiwa petualang mereka malah semakin berkobar.
Saking semangatnya, tak terasa mereka melintas semakin jauh, bahkan semakin dekat dengan puncak Gunung Lawu! Agaknya, mereka melangkah terlalu jauh dari perjalanan yang sudah dilewati.
Sebelum sampai puncak, Ustaz Abdul Wahab selaku pengawas yang turut dalam rombongan, meminta untuk memutar balik arah dan kembali turun ke perkemahan. Mereka tampak mulai kehilangan arah karena kabut yang semakin tebal menutupi jarak pandang.
Mereka kepalang sore untuk turun, bahkan sejak melihat puncak Lawu, jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB, bukankah itu waktu yang ditentukan untuk sampai kembali di perkemahan?
Regu III yang berisikan 24 anggota, secara perlahan menuruni bukit dan lereng yang cukup curam untuk dapat menemukan kembali arah yang benar menuju perkemahan. Memasuki jam 17.00 WIB, hujan disertai badai turun begitu derasnya.
Cahaya lampu senter hanya satu-satunya yang dapat diandalkan untuk bisa menemukan arah yang tepat untuk kembali. Tidak ada yang membawa jaket karena tak ada yang mengira akan sedingin ini. Sambil terus menggigil, mereka terus berjalan dengan harapan bisa kembali ke perkemahan sebelum malam.
Hujan mulai mengguyur begitu derasnya, malam juga telah menampakkan kegelapannya. Jam di tangan menunjukkan pukul 19.00, membuat Ustaz Abdul Wahab mengajak anak-anaknya berisitirahat.
Di bawah pohon yang besar, sekalipun tak bisa meneduhkan mereka dari hujan, dengan pakaian seadanya, mereka meringkuk kedinginan, menekuk lututnya dengan tangan. Mereka mulai sakit dan lemah kondisi tubuhnya. Beruntung mereka dapat bertahan hingga pagi.
Karena banyak diantara mereka yang mulai jatuh sakit, beberapa anak diminta oleh Ustaz Abdul Wahab untuk mencari jalan untuk kembali ke perkemahan sekaligus meminta bantuan. Sekitar 13 anak turun mencari pertolongan dengan berpencar, sedangkan yang lainnya berkumpul dalam sakit dan kepayahan, ditemani Khumaidi (pembimbing) dan Ustaz Abdul Wahab.
Akhirnya, Rabu, 16 Desember 1987 pukul 11.30 WIB, beberapa santri yang diutus ustaznya itu berhasil sampai ke perkemahan, beberapa lagi juga tersasar hingga ke pemukiman warga. Dari sana, mereka melaporkan kondisi kelompoknya yang memprihatinkan akibat sakit dan beberapa sempat pingsan.
Penyelamatan
Setelahnya, Ustaz Jamaludin selaku pimpinan di perkemahan Mojosemi lekas-lekas membentuk tim penyelamat untuk naik ke atas dan menolong mereka. Maka, naiklah 15 santri pada pukul 13.00 WIB untuk menyusur dan menjemput Regu III yang kepayahan dan tersesat di atas.
Hingga pukul 16.00 WIB, regu penolong belum juga membuahkan hasil. Selain karena mereka juga kelelahan, medan yang ditempuh juga sulit, belum lagi Regu III yang berhasil melapor, lupa arah untuk kembali ke tempat Ustaz Abdul Wahab dan Regu III lain berada.
Barulah sekitar 17.30 WIB, para regu penolong dapat menemukan jejak Regu III yang masih tersesat. Terkejut mereka saat menemukan delapan anggotanya sudah mati kelaparan dan kedinginan, dan empat di dekatnya sedang tergeletak kepayahan.
Diantara korban mati yang ditemukan, ada yang mati dalam kondisi meringkuk, ada juga yang saling tindih, mungkin untuk mengtasi rasa dinginnya. 4 yang masih kritis akhirnya segera diberikan pertolongan berupa jaket, makanan, dan minuman seadanya. Yang mengejutkan, Khumaidi dan Ustaz Abdul Wahab tidak di tempat ditemukannya para jenazah itu!
Mereka belum disibukkan untuk mencari Khumaidi dan Ustaz Abdul Wahab. Yang mereka pikirkan adalah mencari bantuan untuk menyelamatkan 4 santri yang sedang kritis, sedangkan mereka tak membawa tandu dan punya tenaga yang cukup kuat untuk membawanya ke perkemahan karena sudah banyak yang pingsan dan tak mampu berjalan.
Baca Juga: Gunung Terlalu Ramai, Bagaimana Caranya Mendaki dengan Tenang?
Baca Juga: Menganalisa Penyebab Ratusan Pendaki Tewas Di Death Zone Everest
Mau tak mau, mereka menunggu sampai keesokan paginya sebelum meminta bantuan yang lebih besar lagi. Namun, ada satu kisah memilukan yang digambarkan dalam buku Musibah Gunung Lawu (1988). Saat Jafar dari regu penolong sedang memangku kepala korban yang kritis, Amin Jabir, sekata dua kata dia berwasiat seolah akan meninggalkan dunia selama-lamanya.
Dalam bukunya ditulis: "Agar kedua orang tuanya (Amin Jabir, yang tengah kritis) merelakan dan memberinya maaf." Ia juga berpesan kepada Jafar untuk, "melunasi hutangnya pada bagian Kesantrian sebanyak Rp5.000,- dengan uangnya yang masih disimpan di almari kamarnya di asrama Pondok Pesantren sejumlah Rp45.000,-."
Selepasnya, Amin Jabir mulai memejamkan matanya, dan meninggal di pangkuan Slamet Jafar. Korban kritis yang masih hidup bersisa 3 santri. Malam itu pun, para regu penolong menghabiskan malam bersama sembilan jenazah temannya di bawah rintik hujan.
Keesokan paginya, Kamis, 17 Desember 1987, dua temannya yang kritis semalaman ditemukan sudah terbujur kaku, sehingga korban meninggal menjadi 11 orang. Segera regu penolong mencari bantuan untuk membawa seluruh jenazah dan menemukan Ustaz Abdul Wahab dan Khumaidi yang menghilang dari lokasi.
Evakuasi Tim SAR
Setelah beberapa regu penolong telah sampai kembali ke perkemahan Mojosemi pada Kamis, 17 Desember 1987, terlihat para tim SAR telah menyiapkan armadanya untuk mengadakan penyisiran dan evakuasi. Tepat pada jam 13.45 WIB, Tim Perhutani Magetan telah menghubungi Kantor Yayasan Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki tentang musibah yang terjadi.
Setelah menurunkan jenazah, Tim SAR kembali beroperasi untuk menyisir dan menemukan para korban yang masih belum diketemukan. Proses evakuasi yang lebih besar lagi akhirnya direncanakan selepas subuh pada hari Jum'at, 18 Desember 1987. Slamet Jafar yang sudah berulang kali naik turun gunung, menjadi pemimpin dalam proses evakuasi.
Tim SAR dengan gabungan ABRI, gabungan organisasi Pecinta Alam, dan dibantu masyarakat sekitar, merangkak naik membelah dinginnya Gunung Lawu. Bahkan, di lokasi ditemukannya jenazah pada hari Kamis, dibangun tenda besar dengan persiapan logistik bak sedang ada hajatan megah di tengah gunung.
Slamet Jafar yang berlari di depan para tim penyelamat, dikejutkan dengan penemuan jenazah lainnya. Ia menemukan satu jenazah lagi tak jauh dari lokasi kemarin saat ia menemukan beberapa jenazah.
Dari sana, Jafar terus bergerak lagi sampai akhirnya menemukan dua jenazah lainnya yang saling tumpang tindih. Selain Jafar, Usman yang juga merupakan santri dari regu penolong, menemukan satu jenazah lainnya. Terhitung empat jenazah sekaligus dalam kondisi berdekatan, sehingga jumlahnya menjadi 15 santri yang tewas dalam musibah itu!
Pencarian selanjutnya adalah untuk menemukan Khumaidi dan Ustaz Abdul Wahab yang juga belum diketemukan hingga Jum'at, 18 Desember 1987. Namun, pencarian itu terhalang karena cuaca, sehingga dilanjutkan pada hari berikutnya.
Pada Sabtu, 19 Desember 1987, upacara serah terima jenazah dari Dandim Magetan kepada Dandim 0726/Sukoharjo dilakukan, hingga dilakukan iring-iringan jenazah menuju Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki. Sesampainya di pondok, terlihat lautan manusia membanjiri Al Mukmin, tangis haru bersahutan mengiringi jenazah yang diarak menuju masjid untuk disalatkan.
Penemuan Khumaidi dan Ustaz Abdul Wahab
Khumaidi nampaknya masih bersemangat untuk menemukan jalan, meskipun sudah hari keempat tersesat dengan sedikit harapan. Sampai hari Sabtu, 19 Desember 1987, Khumaidi dan Ustaz Abdul Wahab bertekad mencari bantuan untuk menyelamatkan para santrinya. Namun nahas, mereka sendiri juga ikut tersesat.
Mereka hanya bisa meneruskan perjalanan dengan merangkak. Sampai hari Minggu, 20 Desember 1987, mereka berdua tak berjalan begitu jauh karena kondisi tubuh yang lemah dan kelaparan hebat.
Minggu sore itu, hujan turun dengan lebatnya sehingga Ustaz Abdul Wahab dan Khumaidi memutuskan untuk mencari pohon dan berteduh. Di sekitarnya, mereka menemukan sungai yang bisa mereka minum dan makan tumbuhan di sekelilingnya. Setelahnya mereka berteduh di bawah pohon yang cukup besar.
Berniat hendak menemukan tempat yang aman dan nyaman untuk istirahat, Ustaz Abdul Wahab malah jatuh sedalam 5 meter dari pinggir pohon. Khumaidi hanya bisa mendengar suaranya mengucap: "Ya Allah ...! Ya Allah ...!" tanpa mampu bergerak untuk menyelamatkannya. Bagaimana mungkin, mereka saja berjalan dengan merangkak, itu pun diselingi dengan banyaknya tidur karena sudah tak punya tenaga.
Khumaidi hanya terpejam, berharap Ustaz Abdul Wahab baik-baik saja. Ia pun sudah berpasrah, tidak ada harapan seseorang akan mampu menyelamatkannya. Hingga pagi kembali menjelang pada Senin, 21 Desember 1987, Khumaidi berusaha untuk mengintip kondisi Ustaz Abdul Wahab yang terperosok ke bawah.
Terkejutnya melihat Ustaz Abdul Wahab sudah tak bergerak, sepertinya ia telah meninggal dunia. Hanya rasa haus yang menggelayuti dirinya, tetapi ia sudah tak mampu untuk kembali bergerak menuju sungai. Di tempat itulah, ia akhirnya melihat para pencari jamur menghampirinya.
"kowe karo sopo? (kamu dengan siapa?)," tanya pencari jamur. Khumaidi menjawab dengan terbata: "kula kalih konco kula, pak ..., nika konco kula pun pe...jah (saya dengan teman saya, pak ... itu teman saya sudah ma...ti)."
Dengan bekal seadanya, para pencari jamur itu memberikan perbekalannya kepada Khumaidi sebagai bentuk pertolongan pertama padanya. Sedang Mbok Sardi menemani sambil menyuapi Khumaidi, Pak Sardi dan Pak Parni mencari bala bantuan.
Belum begitu lama, mereka akhirnya bertemu dengan wartawan dan tim SAR yang telah lama mencari Khumaidi dan Ustaz Abdul Wahab, rombongan yang masih bersisa. Segeralah dituntun para tim penyelamat ke lokasi ditemukannya Khumaidi.
Dari jarak ditemukannya 15 jenazah lainnya, mereka hanya mampu berjalan sejauh 2 km dalam waktu 6 hari. Faktor cuaca yang dingin menggigit dan kelaparan, membuat fisik mereka lemah dan bahkan hanya mampu merangkak dengan banyak tertidur kelelahan.
Senin, 21 Desember 1987 pukul 10.00 WIB, kedua korban diangkut dengan tandu melalui jalan raya Cemoro Sewu. Jenazah Ustaz Abdul Wahab langsung divisum di RS DKT Madiun dan disemayamkan di kediamannya di Madiun. Selebihnya, keajaiban Khumaidi yang mampu bertahan tanpa makan selama 6 hari, menjadikannya salah satu saksi hidup yang menceritakan sebagian kisah bersejarah ini.
Source | : | Musibah Gunung Lawu (1988) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR