Saking asiknya berperang, bidang manufaktur dan pertanian diserahkan kepada warga kelas bawah. Buruh, pedagang, dan perajin terampil adalah bagian dari Perioeci. Ini adalah kalangan non-warga negara bebas yang tinggal di wilayah sekitar Laconia.
Sementara itu, pertanian dan produksi makanan jatuh ke tangan Helot yang diperbudak. "Kalangan budak yang merupakan mayoritas penduduk Sparta," Andrews juga menambahkan. Ironisnya, ketakutan terhadap pemberontakan Helot jadi alasan utama bagi elit Sparta untuk memperkuat militernya.
Pria Spartan tidak diizinkan untuk tinggal bersama istri mereka sampai usia 30 tahun.
Warga tidak dicegah untuk jatuh cinta, namun pernikahan dan pengasuhan anak harus turut pada aturan aneh.
Negara menyarankan agar pria menikah pada usia 30 tahun dan wanita pada usia 20 tahun. Ini karena semua pria wajib tinggal di barak militer sampai usia 30 tahun. Pasangan yang sudah menikah lebih awal dipaksa untuk hidup terpisah sampai sang Suami menyelesaikan tugas wajib militernya.
Pernikahan dipandang sebagai sarana untuk menghasilkan tentara baru. Jadi, kesehatan dan kebugaran harus diperhatikan sebelum pernikahan terjadi.
Mirisnya, suami yang mandul diharapkan untuk mencari penggantinya agar sang istri bisa memiliki keturunan.
Pemuda Sparta dipukuli dan dicambuk secara ritual
Salah satu praktik Sparta yang paling brutal adalah kontes ketahanan. Dalam kontes ini, remaja dicambuk di depan altar di tempat kudus Artemis Orthia. Tidak jarang mereka mati kesakitan.
Dikenal sebagai diamastigosis, praktik tahunan ini awalnya digunakan sebagai ritual keagamaan. Selain itu juga merupakan ujian keberanian dan ketahanan anak laki-laki terhadap rasa sakit.
Seiring berjalannya waktu, ritual ini kemudian berubah menjadi olahraga berdarah, terutama ketika Sparta mengalami kemunduran. Saat berada di bawah kendali Romawi, praktik ini dilakukan di amfiteater, disaksikan penonton yang bersorak kegirangan.
Menyerah dalam pertempuran adalah aib terbesar orang Sparta
Prajurit Spartan diharapkan untuk bertarung tanpa rasa takut sampai titik darah penghabisan. Menyerah dipandang sebagai tindakan pengecut. Maka para pejuang yang secara sukarela meletakkan senjata akan sangat malu. Tidak sedikit yang memutuskan untuk bunuh diri karena menyerah saat bertarung.
Sejarawan kuno Herodotus mengungkapkan kisah dua tentara Sparta yang tertinggal dalam Pertempuran Thermopylae. Dengan malu, mereka kembali ke tanah air. Satu kemudian gantung diri, dan yang lainnya mati saat berkelahi.
Jika seorang prajurit Sparta tewas dalam pertempuran, ia dianggap telah menyelesaikan tugasnya sebagai warga negara. Bahkan undang-undang mengatur orang yang boleh mencantumkan namanya di batu nisan. “Wanita yang meninggal saat melahirkan dan pria yang gugur dalam pertempuran,” imbuh Andrews.
Source | : | History |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR