Nationalgeographic.co.id—Di umur berapa Anda baru tahu bahwa karang atau koral di lautan adalah hewan, bukan tumbuhan? Ya, faktanya para ilmuwan memang memasukkan karang ke dalam kingdom animalia atau dunia hewan.
Sebab, walaupun menempel pada substrat seperti halnya tumbuhan, terumbu karang tidak mempunyai klorofil dan tidak bisa menghasilkan makanan sendiri (heterotrof). Itulah yang membedakan terumbu karang dengan lamun dan rumput laut di lautan.
Ada sebuah misteri tersendiri mengenai karang dalam dunia hewan. Telah lama para peneliti menemukan adanya karang yang bercahaya. Namun mereka tidak tahu mengapa atau untuk apa karang bisa bercahaya.
Sebuah studi baru dari Tel Aviv University, bekerja sama dengan Steinhardt Museum of Natural History, dan Interuniversity Institute for Marine Sciences di Eilat, telah membuktikan untuk pertama kalinya bahwa fenomena magis pada terumbu dalam di mana karang menampilkan warna bercahaya (fluoresensi) adalah dimaksudkan sebagai mekanisme untuk menarik mangsa. Studi ini menunjukkan bahwa hewan laut yang menjadi mangsa karang mengenali warna fluoresen dan tertarik padanya.
Penelitian ini dipimpin oleh Or Ben-Zvi, bekerja sama dengan Yoav Lindemann dan Gal Eyal, di bawah pengawasan Proesor Yossi Loya dari School of Zoology dan Steinhardt Museum of Natural History di Tel Aviv University.
Para peneliti menjelaskan bahwa selama berabad-abad, para pecinta alam dan ilmuwan telah terpesona oleh fakta bahwa makhluk di laut dapat bercahaya. Fenomena ini sangat umum pada karang pembentuk terumbu, tetapi peran biologisnya telah menjadi bahan perdebatan terus-menerus.
Selama bertahun-tahun, sejumlah hipotesis telah diuji, seperti: Apakah fenomena ini untuk melindungi karang dari radiasi? Aktivitas antioksidan? Untuk melindungi dari herbivora atau untuk menarik ganggang simbiosis ke karang? Studi terbaru ini menunjukkan bahwa fungsi fluoresensi karang sebenarnya adalah untuk memikat mangsa.
Dalam studi tersebut, para peneliti menguji hipotesis mereka. Untuk tujuan ini, mereka pertama-tama berusaha menentukan apakah plankton (organisme kecil yang hanyut di laut bersama arus) tertarik pada fluoresensi, baik di laboratorium maupun di laut. Kemudian, di laboratorium, para peneliti mengukur kemampuan pemangsa karang mesofotik (karang yang hidup di antara daerah terumbu karang dangkal dan zona laut yang sangat gelap), yang menunjukkan penampilan fluoresen yang berbeda.
Untuk menguji daya tarik potensial plankton terhadap fluoresensi, para peneliti menggunakan, antara lain, krustasea Artemia salina, yang digunakan dalam banyak percobaan serta untuk makanan bagi karang. Para peneliti mencatat bahwa ketika krustasea diberi pilihan antara target fluoresen hijau atau oranye versus target "kontrol" yang jelas, mereka menunjukkan preferensi yang signifikan untuk target fluoresen.
Selain itu, ketika krustasea diberi pilihan antara dua target yang jelas, pilihannya teramati terdistribusikan secara acak dalam pengaturan eksperimental. Dalam semua percobaan laboratorium, krustasea sangat menunjukkan daya tarik yang lebih besar terhadap sinyal fluoresen. Hasil serupa juga terlihat saat menggunakan krustasea asli dari Laut Merah.
Namun, tidak seperti krustasea, ikan-ikan yang tidak dianggap sebagai mangsa karang tidak menunjukkan tren ini. Ikan-ikan lebih menghindari target fluoresen pada umumnya dan target oranye pada khususnya.
Pada penelitian tahap kedua, percobaan dilakukan di habitat alami karang, sekitar 40 meter di dalam laut, di mana perangkap fluoresen (hijau dan oranye) menarik plankton dua kali lebih banyak daripada perangkap bening.
Baca Juga: Dunia Hewan: Selidik Kepala Burung Pelatuk yang Berfungsi Seperti Palu
Baca Juga: Dunia Hewan: Bagaimana Burung Tidur saat Terbang dan Ikan Tidur di Air
Baca Juga: 'Nyanyian' Terumbu Karang di Sulawesi: Upaya Konservasi dengan Suara
"Kami melakukan percobaan di kedalaman laut untuk memeriksa kemungkinan daya tarik koleksi plankton yang beragam dan alami terhadap fluoresensi, di bawah arus alami dan kondisi cahaya yang ada di perairan dalam. Karena fluoresensi 'teraktifkan' terutama oleh cahaya biru (cahaya dari kedalaman laut), pada kedalaman ini fluoresensi menjadi terang secara alami, dan data yang muncul dari eksperimen itu tegas, mirip dengan eksperimen laboratorium," papar Or Ben-Zvi seperti dilansir Israel National News.
"Meskipun ada kesenjangan dalam pengetahuan yang ada mengenai persepsi visual sinyal fluoresensi oleh plankton, penelitian saat ini menyajikan bukti eksperimental untuk peran fluoresensi dalam memikat mangsa di karang. Kami menyarankan bahwa hipotesis ini, yang kami sebut 'hipotesis perangkap cahaya', mungkin juga berlaku untuk organisme fluoresen lainnya di laut, dan bahwa fenomena ini mungkin memainkan peran yang lebih besar dalam ekosistem laut daripada yang diperkirakan sebelumnya," simpul Ben-Zvi.
Di bagian terakhir penelitian, para peneliti memeriksa tingkat memangsa dari karang mesofotik yang dikumpulkan pada kedalaman 45 meter di Teluk Eilat. Mereka menemukan bahwa karang yang menunjukkan fluoresensi hijau menikmati tingkat pemangsaan yang 25 persen lebih tinggi daripada karang yang menunjukkan fluoresensi warna kuning.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Israel National News |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR