Nationalgeographic.co.id—Cacar monyet sudah ditetapkan oleh WHO sebagai wabah global. Sebenarnya, penyakit ini sudah lama--dilaporkan pertama kali tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo (saat itu Zaire).
Kini wabahnya telah meluas ke seluruh dunia, menggantikan pandemi COVID-19 sebelumnya. Namun, pilihan vaksinasi dan pengobatan belum tersedia baik di Indonesia, walau telah dilaporkan kemunculannya.
Meski terdengar darurat, umumnya virus cacar monyet (MPV) jarang mematikan dan jarang memerlukan rawat inap. Gejalanya dimulai dengan demam, sakit kepala, nyeri otot, pembengkakan kelenjar getah bening, dan rasa lelah.
Pada kulit, bermunculan ruam yang sangat umum terjadi dan bisa menyakitkan jika tidak ditangani dengan tepat. Ruam bisa muncul di lokasi tubuh yang berbeda, tetapi kemungkinan yang sangat memungkinkan adalah di alat kelamin, anus, dan di mulut.
Sayangnya, masih sedikit yang diketahui para ilmuwan bagaimana wabah cacar monyet bisa menyebar. Soalnya, mengutip dari BuzzFeed, saat masih berputar di Afrika virus ini jarang dipelajari. Bagian yang belum diketahui pasti adalah bagaimana bisa virus ini bisa tersebar, tetapi penelitian mulai mengungkap adanya perubahan DNAnya sehingga bisa menyebar cepat.
Jeffrey Klausner, profesor pengobatan di University of Southern California’s Keck School of Medicine menjelaskan lewat laman Medium, terkait penularan virus cacar monyet. Dia menjelaskan bahwa penularan cacar monyet sangat mungkin terjadi dengan hubungan seksual.
Ia menulis, "Hubungan temporal dan anatomis dengan berbagai praktik seks, tingginya prevelansi perilaku berisiko seksual di antara pasien cacar monyet manusia, dan infektivitas in vitro DNA cacar monyet manusia yang diisolasi dari air mani sangat menunjukkan bahwa cacar monyet manusia bisa ditularkan lewat aktivitas seksual."
Sederhananya, seks memerlukan banyak sentuhan terus-menerus, terutama di bagian kulit. Sejauh ini, penularan efisien terjadi ketika sekresi yang sangat menular akibat ruam yang disebabkan virus, masuk ke kulit orang yang sehat. Sekresi ini membawa lebih banyak partikel virus daripada cairan lain pada tubuh yang terinfeksi, bahkan sampai tiga kali daripada lewat air liur.
“Misalnya Anda menyentuh lesi dan virus masuk ke tangan Anda. Anda akan baik-baik saja, kecuali Anda mengalami luka di kulit,” kata Scott Roberts, asisten profesor pencegahan infeksi di Yale University’s School of Medicine. Masalahnya, kita cenderung menyentuh mulut, mata, dan wajah, sepanjang hari yang membuat kita rentan terinfeksi virus yang ada di jari, ujarnya di Popsci.
Penelitian memang menemukan jejak cacar monyet dalam air mani, seperti yang ditulis Klausner. Namun, kasus seperti itu sangat sedikit dan belum ada bukti pendukung bahwa cacar monyet bisa ditularkan dengan pertukaran air mani dan cairan vagina. Mungkin kelak, dalam penelitian, pengetahuan bisa saja membuktikannya--masih ada kemungkinan.
Penyakit cacar monyet sangat rentan ketika disebut penularannya lewat aktivitas seksual. Pasalnya, belakangan rentan menjadi stigma terhadap komunitas LGBTQ+, padahal penularan bisa terjadi lewat hubungan heteroseksual.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Medium,BuzzFeed,popsci.com |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR