Nationalgeographic.co.id—Studi baru tentang kebiasaan makan remaja mengungkapkan bahwa makanan ultra proses merupakan "pintu gerbang" asupan makanan tidak sehat lainnya. Penelitian tersebut dipimpin oleh ilmuwan berusia 16 tahun yang kemudian dipresentasikan di American Heart Association.
Makanan ultra proses adalah makanan olahan pabrik yang dibuat secara massal dan dijual dalam bentuk kemasan. Makanan ultra proses mengandung zat penguat rasa hingga adiktif lainnya.
"Makanan ultra-proses dirancang untuk menjadi sangat enak, atau direkayasa untuk membuat ketagihan," kata Maria Balhara, peneliti utama studi ini dan seorang mahasiswa di Broward College di Davie, Florida.
"Mereka juga murah dan nyaman, yang membuat mereka sulit ditolak. Kebanyakan orang makan terlalu banyak makanan ini tanpa menyadarinya."
Penelitian menunjukkan bahwa mengurangi konsumsi makanan ultra proses dapat berdampak pada konsumsi keseluruhan makanan tersebut, yang tinggi gula, garam, lemak trans yang tidak sehat, serta rasa dan pewarna buatan.
Makanan ultra-proses seperti roti, sereal, makanan penutup, soda, dan daging olahan terdiri lebih dari 60% kalori yang dimakan orang Amerika setiap hari. Penelitian sebelumnya telah menghubungkan konsumsi tinggi makanan ultra-proses dengan hipertensi, penambahan berat badan, peningkatan risiko penyakit jantung, dan kematian dini.
Balhara memiliki perspektif unik mengenai perilaku makan remaja. Dia berusia 16 tahun, dan memimpin penelitian saat mendaftar ganda di Broward College saat menghadiri Cooper City High School.
Balhara mengumpulkan data tentang seberapa sering remaja mengonsumsi 12 produk makanan ultra-proses selama 8 minggu sebelumnya.
Makanan ultra proses termasuk kue kering, permen, keripik, cokelat, minuman energi, soda, kopi atau teh manis sirup, roti putih, dan daging olahan.
Peserta penelitian termasuk 315 remaja, usia 13-19 yang direkrut dari 12 sekolah menengah di Florida Selatan antara Februari dan April 2022.
Baca Juga: Kegemukan Hingga Kanker, Bahaya Minum Soda Secara Berlebihan
Baca Juga: Walau Ada Berbagai Sayuran dalam Burger, Mengapa Tidak Sehat?
Baca Juga: Gila Gula dan Kebijakan Pengurangan Gula dalam Setiap Makanan Kemasan
BMI rata-rata di antara peserta adalah 22,8 (menunjukkan berat badan normal), dan 56% peserta mengidentifikasi diri sebagai orang kulit putih, 25,2% sebagai Hispanik, dan 7,6% sebagai orang kulit hitam.
Selain itu, 52,2% peserta diidentifikasi sebagai perempuan, 41,6% laki-laki, 3,2% non-biner, dan sisanya tidak menentukan jenis kelamin mereka.
Peserta menyelesaikan survei yang dikembangkan Balhara yang disebut Processed Intake Evaluation (PIE). Survei tersebut menilai frekuensi konsumsi 12 makanan olahan mereka selama 8 minggu sebelumnya pada tahun 2022.
Kemudian pertanyaan untuk mengukur konsumsi mereka pada tahun 2022 (setelah pembatasan COVID-19 dicabut) dengan perkiraan konsumsi mereka pada tahun 2019 (sebelum pembatasan COVID diterapkan).
Survei meminta siswa untuk melaporkan tanggapan "benar" atau "salah" terhadap pernyataan, seperti "Saya sering minum soda selama 8 minggu sebelumnya pada tahun 2022," dan "Saya sering minum soda sebelum pandemi pada tahun 2019."
Jawaban mereka digunakan untuk menghitung skor PIE 0-100, dengan 8,33 poin diberikan untuk jawaban "sering" atau 0 poin sebaliknya. Skor mereka untuk konsumsi 2022 dibandingkan dengan skor mereka untuk perkiraan konsumsi pra-pandemi 2019.
Permen, kue kering dalam kemasan, dan makanan penutup beku ternyata bertindak sebagai "pintu gerbang" yang memungkinkan untuk mendorong peningkatan (atau penurunan) konsumsi produk makanan ultra proses lainnya.
Remaja yang mengubah konsumsi makanan "pintu gerbang" ini lebih mungkin untuk mengubah konsumsi semua makanan ultra-proses lainnya juga.
"Kabar baiknya, adalah bahwa bahkan perubahan kecil, seperti mengurangi seberapa sering Anda makan beberapa makanan pintu gerbang, dapat mengurangi konsumsi makanan tidak sehat secara keseluruhan dan berdampak besar pada kesehatan Anda secara keseluruhan," kata Balhara.
Source | : | American Heart Association |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR