Berbeda halnya dengan Prancis di Maroko yang memaksakan bahasanya untuk digunakan dalam negara-negara koloni mereka, tapi Belanda tidak demikian. Meski begitu, Belanda juga ingin menanamkan pengaruh di tanah koloninya.
Sampai akhirnya dibuat Politik Etis yang mengajarkan bahasa Belanda di kalangan elitis. Hal itu dapat dilihat di tahun 1914, di mana pendidikan Belanda diperkenalkan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sebuah sekolah dasar untuk anak-anak elit lokal.
Namun, tujuan itu tidak benar-benar tercapai. Semua itu sudah terlambat, karena sikap Politik Etis yang agak setengah hati. Bahasa Belanda tetap menjadi bahasa kedua, bukan bahasa kerja, di HIS.
Kebijakan Belanda gagal menjadikan bahasanya sebagai bahasa internasional karena kurangnya visi. Hanya terdapat kurang dari 25 juta penutur bahasa Belanda: di Belanda, Flanders, Suriname, dan Karibia.
Andai saja Politik Etis diterapkan lebih dini di Indonesia untuk semua kalangan dan umum di berbagai pelosok negeri, bukan tidak mungkin akan ada 300 juta penutur bahasa Belanda, dan peluang besar bertambah dan berkembang menjadi bahasa internasional.
Bagaimanapun, Belanda sendiri yang mencegahnya—mencegah bangsa Indonesia untuk menggunakannya.
Source | : | The Low Countries |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR