Baca Juga: Kisah Cabul Berujung Maut Fientje de Feniks, Pelacur Batavia
Memasuki tahun 1930-an, dalam sensus jumlah wanita pribumi melebihi lelaki. Sebagian besar wanita memilih bekerja sebagai baboe. Waktu itu, gaji mereka berkisar "f.10 hingga f.25 (gulden) sebulan, padahal tidak ada Batasan jam kerja yang jelas bagi mereka," terusnya.
Alih-alih mendapat hal yang diinginkan, tidak sedikit pada kenyataannya, para baboe wanita mendapati sejumlah kisah tak mengenakkan dalam pekerjaannya. Banyak dijumpai dari mereka yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari nyonya atau tuannya. Tak jarang mereka juga mengalami kekerasan fisik.
Selain dipekerjakan dalam rumah tangga elite Eropa, baboe juga bekerja untuk para tentara di barak-barak mereka. Sebut saja satuan militer Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang memanfaatkan baboe sebagai buruh cuci dan koki mereka.
Agaknya, para baboe yang tinggal dengan keluarga Eropa mendapati nasibnya lebih beruntung ketimbang mereka yang bekerja di barak militer. Baboe di barak-barak militer kerap kali mengalami sejumlah kekerasan dan pelecehan seksual.
Meskipun demikian, demi keluar dari jeratan utang dan kemiskinan yang mendera, baboe berusaha sekeras mungkin untuk bertahan. Mereka lebih memilih menjadi baboe Eropa, dibandingkan menjadi pribumi yang tak punya harapan untuk hidup layak di Hindia Belanda.
Source | : | jurnal Jantra |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR