Nationalgeographic.co.id—Isu perbudakan sudah marak dilakukan oleh orang-orang Belanda yang mulai berkongsi di Nusantara sejak kedatangannya pada akhir abad ke-15. Sebut saja Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang menerapkannya.
Namun semenjak praktik perbudakan mulai dihapuskan, orang-orang Belanda yang masih bertahan di Hindia Belanda, banyak masyarakat pribumi yang dilibatkan sebagai pekerja kasar orang-orang Eropa.
Salah satu karya tulisan yang menginspirasi penulis tentang kisah pekerja kasar berangkat dari jurnal gubahan Siska Nurazizah Lestari dan Indra Fibiona. Mereka menulisnya dalam jurnal Jantra edisi (volume) 11, nomor 1, Juni 2016.
Salah satu yang disorot dalam jurnalnya adalah tentang posisi wanita setelah era perbudakan dihapuskan. Siska dan Indra menjelaskan bahwa perbudakan yang mulai dihapuskan sejak 1863, membawa para wanita pribumi ke fase baru: menjadi baboe.
"Wanita pribumi mulai diakui sebagai pekerja, namun sistem pergundikan (concubinaat stelsel) tetap bertahan," tulis mereka dalam jurnalnya yang berjudul "Pengasuhan Anak Eropa Oleh Wanita Pribumi (Baboe) Di Hindia Belanda Abad XIX-Awal Abad XX" terbitan 2016.
Permasalahan kesejahteraan dan ketidaklayakan hidup membuat wanita-wanita pribumi mencari penghidupan yang lebih layak. Pada akhirnya, permasalahan inilah yang membawa mereka pada pusaran per-baboe-an di zaman Hindia Belanda.
"Pergundikan serta upah buruh yang murah tersebut juga sering disertakan dalam 'kontrak' tanpa sepengetahuan wanita pribumi. Penyalahgunaan kontrak tersebut sering terjadi," imbuhnya.
Menariknya, sebagian besar wanita pribumi di Hindia Belanda kala itu memiliki motivasi besar untuk menjadi seorang baboe bagi pria elite Eropa. Semangat itu lahir dari keinginan agar bisa menjadi nyai, mengingat nyai mendapatkan kehidupan lebih layak.
Di samping itu, menjadi nyai bagi pria Eropa dari kalangan elite dapat menciptakan mobilitas vertikal secara sosial di masyarakat. Motivasi-motivasi itulah yang mendorong maraknya minat wanita untuk menjadi baboe bagi pria kaya Eropa di Hindia Belanda.
Meskipun, tidak menutup kemungkinan juga para baboe akan dipekerjakan dalam keluarga elite Eropa, dimana pria Eropa yang kaya raya sudah memiliki istri dan anak-anak. Istri-istri Eropa yang sibuk dengan kehidupannya, memilih membayar baboe dengan upah murah.
Baca Juga: Peraturan-Peraturan Aneh buat Orang Jawa dan Tionghoa di Batavia
Baca Juga: Kala JP Coen Berkolusi dengan Bengkong di Batavia hingga VOC Bangkrut
Baca Juga: Kisah Cabul Berujung Maut Fientje de Feniks, Pelacur Batavia
Memasuki tahun 1930-an, dalam sensus jumlah wanita pribumi melebihi lelaki. Sebagian besar wanita memilih bekerja sebagai baboe. Waktu itu, gaji mereka berkisar "f.10 hingga f.25 (gulden) sebulan, padahal tidak ada Batasan jam kerja yang jelas bagi mereka," terusnya.
Alih-alih mendapat hal yang diinginkan, tidak sedikit pada kenyataannya, para baboe wanita mendapati sejumlah kisah tak mengenakkan dalam pekerjaannya. Banyak dijumpai dari mereka yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari nyonya atau tuannya. Tak jarang mereka juga mengalami kekerasan fisik.
Selain dipekerjakan dalam rumah tangga elite Eropa, baboe juga bekerja untuk para tentara di barak-barak mereka. Sebut saja satuan militer Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) yang memanfaatkan baboe sebagai buruh cuci dan koki mereka.
Agaknya, para baboe yang tinggal dengan keluarga Eropa mendapati nasibnya lebih beruntung ketimbang mereka yang bekerja di barak militer. Baboe di barak-barak militer kerap kali mengalami sejumlah kekerasan dan pelecehan seksual.
Meskipun demikian, demi keluar dari jeratan utang dan kemiskinan yang mendera, baboe berusaha sekeras mungkin untuk bertahan. Mereka lebih memilih menjadi baboe Eropa, dibandingkan menjadi pribumi yang tak punya harapan untuk hidup layak di Hindia Belanda.
Source | : | jurnal Jantra |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR