Nationalgeographic.co.id—Tacitus adalah seorang senator Romawi, yang menulis sejarah Romawi pada awal abad kedua M, selama pemerintahan Trajan (98-117) dan Hadrian (117-138).
Dia sebelumnya telah menulis serangkaian karya kecil, termasuk biografi ayah mertuanya Agricola, dan catatan utama dari dinasti Flavia (69-96 M) yang disebut Sejarah.
Dari karya fenomenalnya berjudul The Annals yang ditulis kembali pada abad ke-19, baris pertama dari tulisannya, ia meletakkan sebuah penjelasan tentang sistem pemerintahan Romawi yang berubah.
"Romawi telah menjadi monarki sebelumnya, di zaman raja-raja yang berlangsung selama hampir 250 tahun—berlangsung sekitar tahun 753 SM sampai 509 SM," tulis Caillan Davenport kepada The Conversation.
Ia menulisnya dalam sebuah artikel berjudul Guide to the classics: Tacitus’ Annals and its enduring portrait of monarchical power terbitan 12 Maret 2019.
Pada tahun 509 SM, seorang senator bernama L. Brutus mengusir raja terakhir yang kejam, Tarquinius Superbus. Pengusiran inilah yang kemudian mengantarkan Romawi pada era libertas (kebebasan).
"Tacitus menggambarkan bagaimana kebebasan telah dijamin oleh bentuk pemerintahan Romawi yang baru, res publica—Republik—di mana otoritas yang berdaulat berada di tangan rakyat Romawi," tambahnya.
Namun, tak berselang lama, Tacitus juga menuliskan dalam bukunya bahwa pemerintahan republik segera runtuh. Pada abad pertama SM (sekira 100 SM), serangkaian perang saudara yang dilancarkan oleh orang-orang kuat seperti Julius Caesar, Mark Antony, dan Oktavianus secara efektif mengakhiri sistem pemerintahan Republik di Romawi.
Pada ke-27 SM, Oktavianus menggunakan nama Augustus (yang dihormati) dan menjadi kaisar pertama Romawi. Pemerintahan monarki akhirnya dinyatakan telah kembali ke Romawi.
Baca Juga: Misteri di Balik Kematian Attila sang Hun, Musuh yang Ditakuti Romawi
Baca Juga: Kisah Perawan Vestal yang Dikubur Hidup-hidup Akibat Sering Bercanda
Baca Juga: Alasan Kekaisaran Bizantum Bertahan Lebih Lama daripada Romawi Barat
Meskipun senat masih ada di Romawi, kekuasaan sebenarnya secara mutlak berada di tangan Augustus. Tacitus mencatat bahwa rakyat dan para senator, bersyukur atas berakhirnya perang saudara.
"Kebanyakan di antara mereka menawarkan diri mereka dalam servitium (penghambaan) kepada pemimpin baru di Romawi," terusnya. Setelah kematian Augustus, Tacitus menulis bahwa para senator beralih untuk mengakui anak tirinya, Tiberius sebagai kaisar.
Sejarah Tacitus bergantian antara urusan sipil (berkonsentrasi pada kaisar, senat, dan pengadilan) dan urusan luar negeri (kampanye dan pemberontakan di provinsi). Tetapi setiap bagian dari narasinya mengomentari dan mencerminkan tema yang lain.
Salah satu narasinya yang cukup populer adalah pemberontakan Boudicca, ratu Celtics dari Iceni, melawan kekuatan kaisar Nero yang bertakhta di Inggris.
"Bertarung dan mati di bawah kepemimpinan seorang wanita akan memungkinkan warga Celtics menghindari perbudakan di bawah Romawi," ungkap Boudicca dalam pidatonya yang ditulis Tacitus.
Pidato Boudicca itu mendorong pembaca Tacitus untuk merenungkan dekadensi dan kebejatan Nero, dan pembatasan kebebasan di bawah rezimnya.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR