Nationalgeographic.co.id—Bangsa Romawi sering dituduh mencuri dewa-dewa mereka dari bangsa Yunani. Meski dewa-dewa tertentu seperti Jupiter, Juno, Mars dan Venus mirip dengan gaya Yunani, mereka sama sekali berbeda dengan dewa-dewi Yunani.
Dewa-dewa Romawi — yang tidak jelas maupun yang terkenal — sebenarnya adalah dewa-dewa suku Italik kuno. Atribut dan sifat dewa-dewi Romawi yang unik mencerminkan cara Romawi kuno dalam menafsirkan dunia yang tak terlihat.
Kepercayaan dan praktik spiritual Romawi.
Bangsa Romawi tidak menyebut kepercayaan dan praktik spiritual mereka sebagai agama. Religion atau agama berasal dari bahasa Latin “religo”. Secara harfiah, religo diartikan sebagai untuk mengikat atau mengikat.
Bukti tentang kepercayaan dan praktik spiritual ini sangat jarang dan hanya berupa catatan penulis sejarah yang hidup ratusan tahun kemudian.
Namun dari catatan itu disimpulkan jika orang Romawi tidak menganggap diri mereka terikat untuk melayani atau menyembah satu dewa. Hubungan antara orang Romawi dan dewanya dapat dipandang sebagai quid pro quo atau beri dan ambil.
Animisme dalam kebudayaan Romawi kuno
Orang Romawi menganut paham animisme atau manifestasi kekuatan ilahi melalui alam. Setiap tempat memiliki dewa pelindungnya. Misalnya dewa pelindung sungai dan hutan. Namun, banyak dari roh tanah dan air ini hilang. “Pasalnya, orang Romawi terbiasa untuk menyebut dewa-dewi itu. Namun dinamai atau tidak, mereka selalu dihormati oleh orang Romawi,” tulis Natasha Sheldon di laman History and Archaeology Online.
Bangsa Romawi percaya bahwa roh-roh alam ini memiliki kekuatan ilahi yang disebut numen. Sejak awal, jika seseorang membuka atau membangun di atas sebidang tanah, biasanya untuk menenangkan roh tempat itu dengan pengurbanan. Ini bukan tindakan penyembahan atau penyerahan. Sebaliknya, itu adalah sikap hormat dari tetangga yang baik.
Ovid, penyair Romawi yang terkenal, menggambarkan kelangsungan hidup salah satu ritual semacam itu. Sebuah festival didedikasikan untuk dewa batas, Terminus, yang diadakan setiap tahun pada pagi hari tanggal 23 Februari. Para petani lokal akan bertemu di titik batas tanah mereka, membawa “karangan bunga dan kue” untuk dipersembahkan kepada dewa.
Dewa-dewa Romawi tidak diberi atribut manusia
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR