Nationalgeographic.co.id - Sejak ketegangan memanas antara Rusia dan Ukraina di Eropa, memunculkan sikap publik akan politik internasional menjadi dua blok berlawanan. Dunia saat ini terbagi antara masyarakat yang mendukung Amerika Serikat (AS) dan ada juga yang mendukung Tiongkok dan Rusia. Pandangan berlawanan ini sebenarnya sudah ada sejak lama, tetapi makin terlihat akibat perang di Ukraina.
Hal itu diungkapkan dalam laporan University of Cambridge, Inggris. Para peneliti mengungkap temuan itu berdasarkan data survei pada 137 negara. Hasilnya, mereka menemukan perbedaan mencolok yang tumbuh selama satu dekade belakangan.
"Dunia telah terbagi menjadi wilayah liberal dan tidak liberal," terang rekan penulis laporan Xavier Romero-Vidal, dari Bennett Institute for Public Policy University of Cambridge, dikutip dari Eurekalert.
"Kesenjangan global saat ini tidak terlalu bergantung pada ikatan historis antar negara. Indikator terkuat yang kami temukan tentang bagaimana masyarakat di seluruh dunia menyelaraskan secara geopolitik adalah nilai-nilai fundamental mereka, seperti kebebasan berekspresi."
Tidak hanya terpaku pada negara-negara Barat, analisis ini mencakup data opini publik di negara-negara berkembang dan Global South. Kesenjangan ini tidak hanya faktor ekonomi atau kawasan, tetapi juga berdasarkan ideologi dan pandangan politik pribadi.
Berdasarkan laporan mereka, perang Rusia-Ukraina telah membuat masyarakat di Barat merasakan kesetiaan yang semakin besar kepada AS dan NATO. Sementara itu, perang juga membawa demokrasi jadi lebih kaya di Amerika Latin dan Eropa Timur untuk sikap pro-Amerika.
Baca Juga: Merinding, Dampak Ledakan Nuklir Modern Jika Itu Terjadi Saat Ini
Baca Juga: Gading Walrus Dalam Dunia Islam, Rusia, dan Ukraina Abad Pertengahan
Baca Juga: Cerita Evolusi Kita: Kenapa Berpolitik dan Mencari Sistem yang Ideal?
Baca Juga: Generasi Putin, Bagaimana Remaja Rusia Memandang Presiden Mereka?
Dari 1,2 miliar orang yang mendiami negara demokrasi liberal, sekitar 75 persen memiliki pandangan negatif tentang Tiongkok. Terhadap Rusia, pandangan negatifnya sebesar 87 persen. Data ini diungkap oleh University's Center for the Future of Democracy (CFD).
Sementara di sisi lain mereka mengungkapkan zona masyarakat yang non-liberal dan tidak demokratis. Zona ini membentang dari Asia Timur, Timur Tengah, dan menuju Afrika Barat. Di zona ini, muncul tren yang berbeda dengan meningkatnya dukungan terhadap Tiongkok, Rusia, atau keduanya.
6,3 miliar orang yang tinggal 136 negara, memberikan pandangan positif 70 persen terhadap Tiongkok dan 66 persen terhadap Rusia.
Para peneliti melaporkan ada pola yang menarik untuk disebut sebagai aliansi atau blok. Mereka menemukan bahwa masyarakat dari negara-negara pendukung Tiongkok berpusat pada "Blok Eurasia". Negara-negara itu ada di Asia Tengah, Iran, dan Timur Tengah, dan sebagian besar Asia Tenggara dan Afrika.
Di sisi lain, ada "aliansi maritim" yang sebagian besar mencakup benua Amerika, Eropa, dan Australasia yang stabil. Dukungan mereka terhadap AS sempat terganggu pada masa kepresidenan Trump.
Para peneliti berpendapat, Perang Rusia dan Ukraina telah 'menggalakkan' perpecahan yang sebenarnya sudah ada satu dekade. Opini publik global tentang geopolitik sebenarnya jauh beragam dan tidak terdefinisi.
Negara berkembang memang memandang Rusia positif. Ada 75 persen responden di Asia Selatan, 68 persen di Afrika berbahasa Prancis, dan 62 persen di Asia Tenggara memberikan pandangan positif. Opini publik tetap positif di Pakistan, Arab Saudi, Malaysia, India, dan Vietnam, meskipun jika invasi ke Ukraina tidak terjadi.
Di satu sisi, Tiongkok dan investasinya mengungkap ketegasannya. Ketegasannya ini membantu arah dukungan yang merupakan fokus strategis Tiongkok dan Rusia, terutama di Afrika.
Tiongkok memang sempat punya pandangan positif dalam opini publik Barat lima tahun lalu, terang para peneliti. Namun belakangan turun hampir setengahnya.
“Perang Rusia telah menyebabkan perpecahan global ini semakin intensif, karena garis pertempuran literal sekarang ditarik yang mencerminkan dua sisi kebebasan liberal dan otoritarianisme,” kata rekan penulis Roberto Foa, yang merupakan co-director CFD di Cambridge's Bennett Institute.
Romero-Vidal berpendapat, sebagian besar garis patahan baru berakar pada sikap terhadap demokrasi. "Masyarakat demokratis jauh lebih negatif terhadap Rusia dan Cina, sedangkan kebalikannya berlaku untuk masyarakat yang lebih otoriter. Asosiasi ini tidak ada satu dekade lalu, namun cukup jelas hari ini," jelasnya.
Meski demikian, sejumlah negara demokrasi justru memberikan semangat positif tentang Rusia dan Tiongkok jika dibandingkan dengan Barat. Negara-negara ini kebanyakan yang tengah berjuang untuk korupsi dan legitimasi demokrasi, misalnya Indonesia, India, dan Nigeria.
Sebagian pula, dukungan berlawanan dari Barat muncul dari beberapa negara yang tidak puas dengan sistem demokrasi.
“Cina menawarkan model modernisasi otoriter di mana kebebasan pribadi ditinggalkan demi janji pertumbuhan ekonomi dan prestise nasional. Daya tarik relatif Cina versus Amerika Serikat mungkin bukan sekadar pertanyaan tentang daya tarik Amerika sebagai sekutu, tetapi sebagai model politik,” Foa berpendapat.
Ada kasus yang berbeda dari negara-negara berkembang di Amerika Latin. Mereka cenderung menyukai Amerika Serikat daripada Tiongkok dengan keunggulan 24 persen poin, ungkap laporan tersebut.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR