Nationalgeographic.co.id - Melepas masyarakat dunia dari "kecanduan" bahan bakar fosil tidaklah mudah. Meski begitu, negara-negara telah bersepakat untuk mencapai karbon netral dalam hitungan dekade, termasuk pemotongan karbon yang harus dipenuhi 2030.
Namun, dalam laporan "Emissions Gap" oleh UNEP (United Nations Environment Programme), usaha pengurangan karbon, terutama negara-negara penghasil karbon yang lebih kaya, tetap "jauh di belakang".
"Komitmen iklim global dan nasional sangat mengecewakan," kata Sekjen PBB Antonio Guterres, dilansir dari Phys. "Kita sedang menuju bencana global."
Negara-negara tersebut dinilai tidak cukup menjanjikan untuk mencapai salah satu tujuan global untuk membatasi pemanasan di masa depan. Laporan juga mengungkapkan, kesepakatan Perjanjian Paris 2015 untuk membatasi 1,5 atau dua derajat celsius di atas tingkat pra-industri tidak begitu tampak.
Apabila dunia masih bekerja seperti hari ini, pemanasan global bisa mencapai 2,8 derajat celsius tahun 2100. Sampai saat ini, suhu global sudah menghangat 1,1 derajat sejak zaman pra-industri.
"Laporan tersebut mengonfirmasi kecepatan aksi iklim yang sangat glasial, terlepas dari jurang yang menjulang dari titik kritis iklim yang sedang kita dekati," kata ilmuwan iklim Bill Hare, kepala Climate Analytics. Dia memeriksa bagaimana janji dan apa yang dilakukan negara-negara terkait emisi karbon mereka.
Dalam laporan The Lancet Countdown, "kecanduan" bahan bakar fosil bisa meningkatkan risiko keamanan makanan, penyakit menular, dan penyakit terkait panas. Laporan itu dibuat oleh 99 ahli dari berbagai organisasi lintas negara termasuk WHO, dan dipimpin oleh University College London.
Dampak kesehatan dari panas yang ekstrem beragam, termasuk kondisi memburuk seperti penyakit kardiovaskular dan pernapasan, serta menyebabkan strok dan kesehatan mental yang buruk.
Oleh karena itu, Guterres mendesak pemimpin-pemimpin dunia harus menyelaraskan tindakan untuk ukuran masalah global ini. Mengutip BBC, pertemuan para pemimpin terkait masalah iklim besar akan diselenggarakan lewat COP27 di Sharm El Sheikh, Mesir pada November 2022.
Baca Juga: Bahan Bakar Alternatif SMA di Bali Ini Bisa Bantu Kurangi Emisi Karbon
Baca Juga: Anak Muda Indonesia Punya Segudang Inovasi untuk Karbon Netral
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Penyakit Patogen Manusia Kian Bertambah Parah
Baca Juga: Iklim di Amerika Utara Dulu Sehangat Bali dan Bisa seperti Itu Lagi
Walaupun "sangat tidak memadai" masih ada harapan untuk menjaga pemanasan di masa depan untuk tetap persepuluh derajat dari sekarang. "Kemungkinan besar kita akan melewati 1,5 (derajat celsius)," kata Direktur Eksekutif UNIEP Inger Andersen di The Associated Press. "Kita masih bisa melakukannya, tetapi itu berarti pengurangan emisi 45 persen pada 2030."
"Kita meluncur dari krisis iklim ke bencana iklim," kata Andersen dalam konferensi pers Kamis 27 Oktober 2022.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa masih ada solusi. "Terlepas dari tantangannya, ada bukti jelas bahwa tindakan segera masih bisa menyelamatkan nyawa jutaan orang, dengan pergeseran cepat ke energi bersih dan efisiensi energi," tulis laporan tersebut.
Namun, ilmuwan iklim Rob Jackson dari Stanford University punya pendapat lain. Dia memimpin Global Carbon Project dalam kajian independen untuk melacak karbon dioksida seluruh dunia, dan di luar laporan PBB.
"Satu dekade lagi emisi fosil pada tingkat saat ini dan kita akan lewati 1,5 derajat celsius," kata Jackson pada Phys. "Segalanya berjalan meskipun kita akan melewati 1,5 derajat celsius, melewati 2 derajat celsius dan—ya ampun—bahkan 2,5 atau 3 derajat celsius."
Memang, jelas Jackson, energi terbarukan sedang ramai dan lebih murah dari sebelumnya. Akan tetapi, rencana stimulus dari pandemi COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina malah mengganggu pasar energi global. Akibatnya, beberapa negara terpaksa kembali menggunakan batu bara dan bahan bakar lainnya. "Ini tidak dapat berlanjut dalam iklim yang aman," tuturnya.
Tahun 2022 ini, negara-negara mengamati perkembangan G20 yang diadakan di Indonesia. Negara-negara itu menghasilkan sekitar 75 persen emisi rumah kaca. Guterres menyatakan, pertemuan itu harus meningkatkan upaya memangkas emisi dan memimpin dengan berinvestasi lebih banyak dalam energi terbarukan.
"Kesehatan manusia, mata pencaharian, anggaran rumah tangga, dan ekonomi nasional sedang terpukul, karena kecanduan bahan bakar fosil lepas kendali," terang Guterres. Ada beberapa negara yang membuat kebijakan untuk transisi energi dan memotong karbon, tetapi belum begitu optimal.
"Apa yang kita minta adalah kecepatan dan dipercepat karena ada hal-hal baik yang terjadi di sejumlah negara, tetapi itu tidak cukup cepat dan tidak cukup konsisten," lanjut Guterres.
Source | : | phys.org,The Associated Press,BBC |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR