Nationalgeographic.id—Selama pandemi COVID-19, kita ditekan oleh kondisi psikologis karena kuncitara yang membatasi kita keluar dari rumah. Beberapa di antaranya ada yang berkebun sebagai pelepas penat, atau bersepeda sampai menjadi tren besar di Indonesia.
Namun, rupanya, kepenatan selama pandemi justru membahayakan alam dengan memelihara satwa liar. Dalam laporan sebelumnya, memelihara satwa liar bisa berbahaya bagi kita dan satwa liar itu sendiri. Mereka bisa membawa petaka pada kita, dengan virus zoonosis yang belum diteliti atau teridentifikasi lebih lanjut. Akibatnya, membuka kemungkinan pandemi baru seperti COVID-19 yang merupakan virus zoonosis dari kelelawar.
"Memelihara satwa liar itu bertentangan dengan kesejahteraan satwa serta berpotensi menyebarkan penyakit zoonosis," kata Nur Purba Priambada, dokter hewan dan supervisor animal management di Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI).
"Memelihara satwa liar itu problematik," tambahnya di Bincang Redaksi-54 bertajuk "Salah Kaprah Kita dengan Konservasi Satwa", program rutin National Geographic Indonesia pada 29 September 2022.
Melansir Katadata, tren kasus perdagangan satwa liar turun selama pandemi 2020. Mereka menyebutkan perburuan dan perdagangan ilegal kategori tanaman dan satwa liar tercatat 46 kasus pada 2020, jumlah ini turun dari 65 kasus pada 2019.
Namun, laporan organisasi non-pemerintahan Garda Animalia, yang dikutip Kumparan justru sebaliknya. Mereka melaporkan bahwa jumlah perdagangan satwa liar secara ilegal di media sosial meningkat signifikan.
Tahun 2018, terdapat 1.829 akun yang menjual satwa yang dilindungi di Facebook dengan melibatkan 1.606 satwa dilindungi. Angkanya penjualnya makin meningkat sampai 2.286 akun dengan jumlah perdagangan mencapai 2.676 satwa. Kemudian memuncak di tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 menerpa, sebesar 3.319 akun penjual satwa dilindungi dengan perdagangan sebanyak 4.105 satwa.
Rupanya, fenomena kenaikan pemeliharaan satwa liar ini disokong oleh konten internet. Rheza Maulana, peneliti alumni Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia melaporkan, monyet peliharaan dijadikan konten meningkat drastis di YouTube pada Desember 2019. Tren ini kembali dan terus tinggi pada Februari 2020 sampai titik puncaknya di November 2020.
Data itu diperolehnya dari International Animal Rescue (IAR) Indonesia (kini YIARI), sebagai penelitiannya. Sementara penelitiannya sendiri berjudul "Paradoks kepemilikan satwa liar, di tengah pandemi penyakit yang ditularkan oleh satwa liar" di Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan pada 31 Agustus 2022.
Baca Juga: Perburuan dan Perdagangan Satwa: Hukum dan Universitas Harus Bergerak
Baca Juga: Populasi Satwa Liar Dunia Anjlok 69% dalam Rentang Tahun 1970 dan 2018
Baca Juga: Alasan yang Perlu Anda Ketahui agar Tidak Memelihara Satwa Liar
Baca Juga: Dunia Hewan: Ancaman bagi Burung Bermigrasi, Polusi Cahaya dan Racun
Lewat makalahnya, Rheza juga memantau kasus pemberitaan pemeliharaan satwa liar yang marak selama pandemi. Para pemelik satwa liar antara lain didominasi oleh masyarakat, tokoh masyarakat (seperti figur publik, artis, dan selebritas), hingga aparatur sipil negara (ASN) atau politisi. Hewan yang dipelihara adalah harimau benggala, monyet makaka, siamang, simpai, lumba-lumba, singa, owa, kukang, dan buaya muara.
"Jadi kalau dilihat ini mungkin kejadiannya sedikit, cuma satu-dua (kasus), tetapi yang perlu diperhatikan bagaimana efeknya kepada umum secara umum," kata Rheza. "Mungkin yang pelihara cuma satu-dua yang viral, tetapi efeknya kepada masyarakat begitu besar. Ada lonjakan orang memelihara satwa seperti monyet, beruk, dan makaka."
Dia menjelaskan perbedaan pemberitaan kepemilikan satwa liar justru meningkat di tahun 2021. "Ini seperti tren yang meningkat," lanjut Rheza. "Sebetulnya kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, konten pemeliharaan tidak begitu banyak, tetapi menjadi viral kemudian diikuti orang. Ini bisa dipikirkan itu, efek ikut-ikutan. Sebagian masyarakat kita itu latah"
Dengan kata lain, dengan adanya pemilik satwa, kemudian disokong oleh konten media, tren pemeliharaan satwa ikut naik.
"Ini seperti tren yang meningkat," lanjut Rheza. "Sebetulnya kalau dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, konten pemeliharaan tidak begitu banyak, tetapi menjadi viral kemudian diikuti orang. Ini bisa dipikirkan itu, efek ikut-ikutan. Sebagian masyarakat kita itu latah."
Belum lagi konten-konten terkait kepemilikan satwa liar justru menyiksa satwa liar itu sendiri. Melansir Narasi, satwa liar, dalam hal ini monyet, sering dijadikan video konten penyiksaan sadis. Konten seperti ini pun memiliki peminatnya.
Namun, Rheza menambahkan, penyiksaan terhadap hewan bisa berbentuk hal yang sekilas tidak dilihat oleh manusia. Misalnya, kita akan menganggap bahwa monyet makan nasi padang adalah hal yang lucu dan biasa saja, akan tetapi bisa berbahaya bagi pencernaan mereka. Beberapa dari konten pemeliharaan satwa, bahkan mengungkapkan perilaku stres yang bisa diketahui pengamat satwa liar.
Source | : | National Geographic Indonesia,sumber lain,narasi.tv,Kumparan |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR