Nationalgeographic.co.id - Hingga saat ini mumi masih menjadi daya tarik yang besar bagi orang-orang untuk mengunjungi Mesir. Kini para sarjana modern, termasuk pada ilmuwan Eropa, memperlakukan mumi-mumi Mesir kuno dengan hormat dan perhatian besar. Namun dulu tidak demikian, orang-orang Eropa justru mengambil dan mencuri mumi-mumi dari Mesir dan membawanya ke Eropa untuk kepentingan komersial yang mengerikan.
Beberapa abad yang lalu, mumi Mesir lebih cenderung digunakan oleh orang-orang Eropa untuk tujuan praktis daripada tujuan akademis. Tubuh mumi-mumi Mesir diperlakukan sebagai komoditas karena diyakini memiliki khasiat medis, supranatural, dan fisik.
Mulai abad ke-15, para pedagang mencari keuntungan dari perdagangan mumi. Mereka membawanya dari Mesir ke Eropa, dan “perdagangan mumi” yang kuat tumbuh di sekitar mereka.
Mumi sendiri adalah jasad orang Mesir kuno yang telah menjalani mumifikasi. Ini adalah proses yang kompleks dan panjang untuk membantu mengawetkan tubuh si mendiang untuk perjalanannya di akhirat.
Meskipun proses mumifikasi berubah seiring waktu, banyak praktik intinya tetap sama. Setelah mengeluarkan organ-organ dalam tubuh, pemuka agama akan menggunakan natron, garam alami, untuk mengeringkannya.
Kadang-kadang zat yang harum, seperti mur, digunakan untuk mengurapi tubuh. Minyak dan resin akan dioleskan ke tubuh, yang kemudian akan diisi dengan kain linen atau serbuk gergaji sebelum disegel dan dibungkus dengan perban.
Para ahli mengalami kesulitan untuk menentukan dengan tepat bagaimana mumi digunakan untuk pengobatan. Ada bukti bahwa orang-orang Eropa percaya bahwa tubuh yang dibalsem itu mengandung kekuatan penyembuhan dari dunia lain. Para sarjana lain melacak asal-usul hubungan itu dengan kesalahpahaman bahwa mumi mengandung bitumen atau aspal, zat yang telah lama dikaitkan dengan penyembuhan di dunia kuno.
Bitumen yang hitam, lengket, dan kental adalah bentuk minyak bumi yang ditemukan di daerah sekitar Laut Mati. Penulis abad pertama Masehi Plinius yang Tua dan Dioskorides, serta penulis abad kedua Masehi Galen, menulis tentang sifat penyembuhan bitumen. Dioskorides menggambarkan satu bentuk sebagai cairan dari Apollonia (Albania modern) yang dikenal, dalam bahasa Persia, sebagai mumiya. Menurut Plinius, ini bisa menyembuhkan luka dan berbagai penyakit.
National Geographic pernah mencatat bahwa para cendekiawan Eropa pada Abad Pertengahan mengaitkan bitumen dengan zat kehitaman yang ditemukan di makam Mesir. Seorang tabib abad ke-11, Constantinus Africanus, menulis bahwa mumiya "adalah rempah-rempah yang ditemukan di makam orang mati . . . Yang terbaik adalah yang hitam, berbau tidak enak, mengkilat, dan besar.”
Eropa mulai menghubungkan mumi dengan obat-obatan pada abad ke-15, sebagai tanggapan atas permintaan yang kuat akan mumi medis. Bitumen yang terbentuk secara alami jarang terjadi, jadi para pedagang yang giat pergi berburu di makam-makam Mesir untuk persediaan alternatif. Ketika digiling menjadi bubuk, tubuh yang diawetkan dan resin, minyak, dan zat aromatiknya tidak hanya memiliki konsistensi dan warna yang sama dengan mumiya Persia asli, tetapi juga berbau lebih baik.
Baca Juga: Sejarah Kelam Mumi Mesir di Eropa: Dibongkar, Dihancurkan dan Dimakan
Baca Juga: Kematian George Herbert: Apakah 'Kutukan Mumi' Mesir Kuno Itu Nyata?
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR