Di luar ketiga kelompok di atas, ada kelompok lain tetapi sama sekali berbeda. Mereka pelacur suci yang memberikan tubuhnya sebagai bagian dari pemujaan agama.
Tentu saja, salah satu perbedaan terbesar antara jenis pelacur adalah harganya. Pornē bisa berharga hanya satu obol, koin terkecil di Athena. Hetaira kelas atas, sebaliknya, mungkin berharga 500 drachma atau 3.000 obol. Tarif hetaira juga bergantung pada pajak prostitusi yang dipungut oleh negara-kota di Yunani kuno.
Banyak hetaira kemungkinan adalah wanita dari kelas yang lebih tinggi yang menjadi budak setelah wilayah mereka ditaklukkan.
“Perbedaan antara kelas pelacur dapat mencerminkan perubahan dalam masyarakat Yunani,” ungkap Cartwright. Pertumbuhan di kelas menengah memungkinkan lebih banyak laki-laki untuk membayar jasa pelacur. Dengan membedakan jenis pelacur, laki-laki kelas atas dapat membedakan diri mereka dari praktik kelas menengah yang mengunjungi rumah bordil. Kehadiran hetaira dalam perjamuan dianggap normal, selama seseorang mampu membayar mereka.
Hetaira di simposium
Sebagian besar hetaira menjalani kehidupan anonim melayani laki-laki di symposium, Itu adalah pesta minum informal dan khusus laki-laki.
Diselenggarakan dari abad ke-7 Sebelum Masehi, simposium diadakan di rumah-rumah pribadi bangsawan di mana para tamu makan dan minum bersama.
Simposium bisa sangat informal dan tidak lebih dari sekadar pesta minum. Acara ini juga menjadi kesempatan bagi laki-laki untuk mendiskusikan peristiwa hari itu. Tidak jarang mereka berbicang tentang politik, filsafat, agama, dan seni.
Beragam hiburan seperti pembacaan puisi dan permainan alat musik juga bisa ditemukan dalam simposium. Dalam suasana ramah inilah hetaira melangkah. Mereka jadi satu-satunya wanita yang diizinkan untuk hadir.
Keterampilan hetaira
Tentu saja, para tamu mengharapkan tuan rumah menyediakan hetaira yang cantik, menawan, dan jenaka.
“Para hetaira kemudian menjadi peserta yang lebih aktif seiring berjalannya waktu,” kata Cartwright. Mereka dilatih untuk memainkan seruling, menari, dan berdiskusi tentang topik budaya.
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR