Nationalgeographic.co.id—Nestapa menjadi orang miskin di Mesir Kuno. Kesulitan ekonomi yang mendera kehidupan mereka, seperti perut yang lapar dan kebutuhan sandang yang kurang memadai, hanya memperkeruh kondisi.
Beberapa sejarawan meyakini, kemiskinanlah yang menggerakkan mereka menjadi abdi bagi pelayan kuil hingga Piramida. Alih-alih mendapatkan kehidupan yang sejahtera, dibayar upah untuk mampu bertahan hidup, mereka malah mendapat perlakuan buruk.
Mereka "ditarik untuk kerja paksa, sebuah proses yang dikenal sebagai corvée (kerja sebagai ganti upeti)," tulis Colin Schultz kepada Smithsonian Magazine dalam artikel berjudul "In Ancient Egypt, People Paid to Become Temple Servants", terbit pada 9 Januari 2013.
Menurut Kim Ryholt, seorang peneliti dari University of Copenhagen, "beberapa orang—tidak semua orang—mencari jalan keluar dari kehidupan yang sulit dengan mengubah diri mereka menjadi pelayan kuil."
Penelitian Ryholt menjelaskan situasinya sedikit berbeda, menunjukkan bahwa mereka membuat "pengabdian diri" untuk menjadi "pelayan" kuil. Tidak ada paksaan, secara sukarela mereka mengabdikan dirinya sebagai pelayan kuil atau piramida.
Firaun Ramses III meninggalkan catatan di Papirus Harris I, menyatakan bahwa dia "memiliki puluhan ribu budak." Dia menato pria, wanita, dan anak-anak dengan tato namanya, sehingga semua orang tahu bahwa itu adalah budak milik Ramses III.
Alasan seseorang menjadi sukarelawan—dan membayar hak istimewa—untuk menjadi pelayan kuil, menurut responden dari redaksi Nature, Zohny, menuliskan salah satu isi dari corvée:
"Sementara kontrak-kontrak ini mengikat mereka sebagai budak, mereka melakukan kerja paksa seperti menggali kanal dan proyek-proyek keras dan sering kali fatal lainnya. Namun, sebagai budak kuil, mereka yang terlibat dalam pertanian, akan dibebaskan dari kerja paksa."
Baca Juga: Sadis, Budak Mesir Kuno Diberi Cap dengan Besi Panas bak Ternak
Baca Juga: Nestapa Pria Miskin di Tiongkok Kuno, Dikebiri demi Jadi Kasim
Baca Juga: Bagaimana Rasanya Menjadi si Miskin Kala Itu di Romawi Kuno?
"Jelas tidak semua orang yang bekerja di kuil melarikan diri dari kerja paksa, tetapi manfaat simbiosisnya akan menarik bagi banyak orang," terus Schultz.
Dalam riset Ryholt, sebuat ikrar dari Mesir Kuno diungkap: "Mengingat hal ini dan status sosial yang rendah dari mayoritas pemohon, dapat dikatakan bahwa pengabdian diri adalah instrumen hukum dari hubungan simbiosis."
Muncul istilah hubungan simbiosis di antara pihak kuil dan para pelayannya. Seiring berjalannya waktu, ada kepercayaan bahwa seorang pelayan kuil bisa menjadi Shabti.
Shabti ialah seorang budak yang memperoleh jaminan akses ke alam baka dengan ketentraman sebagai imbalan atas pekerjaan mereka selama masih hidup di dunia. Artinya, budak-budak ini akan dijaminan kehidupan setelah kematiannya kelak.
Keyakinan ini begitu kuat sehingga beberapa orang miskin benar-benar merelakan menjadi budak atau pelayan kuil yang dipaksa bekerja keras dengan imbalan akses ke alam baka dan janji kehidupan tentram setelah kematian.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR