Nationalgeographic.co.id - 1 November 2022, berita sains digemparkan dengan kabar adanya 'virus zombi' yang menular. Virus ini terkunci di bawah tanah beku (permafrost) selama ribuan tahun silam.
Istilah 'virus zombi' ini kemudian juga diikuti oleh beberapa media kabar, bahkan menggunakan gambar tajuk zombi seperti yang dilakukan. Hal itu menyebabkan kekhawatiran akan virus zombi sebenarnya yang bisa menular, dan berdampak apokaliptik seperti di cerita fiksi.
Namun, bagaimana kebenaran dari berita ini?
'Virus zombi' yang dimaksud adalah virus kuno yang bisa hidup kembali. Pertama kali diungkapkan lewat penerlitain yang dipublikasikan di jurnal BioRxiv pada 10 November 2022, bertajuk "An update on eukaryotic viruses revived from ancient permafrost".
Penelitian itu dipimpin oleh ahli mikrobiologi French National Centre for Scientific Research Jean-Marie Alempic. Dia dan timnya melihat sampel yang dikumpulkan dari tanah beku di Siberia, Rusia. Permafrost adalah tanah yang terus membeku dalam waktu yang lama, bahkan sejak Zaman Es terakhir. Kandungan permafrost adalah mikroba asing yang beragam dan belum dijelajahi, seperti jenis ekstrofil yang mampu melalui kondisi ekstrem.
Dari sinilah, para ilmuwan dapat membangkitakan 13 virus baru yang mereka beri label 'virus zombi'. Salah satunya adalah yang bisa menular setelah 48.500 tahun dibekukan. Sehingga, virus ini hidup kembali seperti zombi—bukan virus yang menyebabkan makhluk bisa menjadi zombi.
"48.500 tahun adalah rekor dunia,” ujar Jean-Michel Claverie, tim penulis makalah ini yang merupakan seorang profesor genomik dan bioinformatika di Fakultas Kedokteran Aix-Marseille University, dalam laporan sebelumnya.
Baca Juga: 13 Virus Purba Dihidupkan Kembali dari Permafrost Siberia Kuno
Baca Juga: Waspada, Virus Monyet Lainnya dapat Berpotensi Menular ke Manusia
Baca Juga: Perubahan Iklim yang Berdampak pada Peristiwa-peristiwa Sejarah
Baca Juga: Perubahan Iklim Tidak Menimbulkan Masalah Baru, Kitalah Masalahnya
Para peneliti memeriksa virus ini, dan ternyata mampu menginfeksi Acanthamoeba (salah satu ameba yang ada di tanah, air tawar, dan habitat yang mudah ditemukan lainnya). Menurut mereka, penggunaan ameba ini adalah pilihan yang valid sebagai 'umpan virus'. Pasalnya, mereka tidak sekadar ada di mana-mana, tetapi juga ada di kondisi lain seperti hidroterapi, sistem pendingin, ventilator, dan unit perawatan intensif.
"Deteksi virus mereka dengan demikian dapat memberikan tes yang berguna untuk keberadaan virus hidup lainnya dalam pengaturan tertentu," tulis mereka di dalam studi. "Namun, risiko ancaman bahaya hayati (biohazard) untuk menghidupkan kembali virus yang menginfeksi ameba "sama sekali dapat diabaikan."
Akan tetapi, kabar ini bukan berarti bisa biasa saja. Jika kemampuannya sangat tinggi untuk menyerang, virus purba yang bisa awet dari zaman prasejarah bisa saja dapat menimbulkan risiko di masa depan bagi kehidupan, termasuk hewan dan manusia. Terlebih, perubahan suhu global yang tidak terduga yang disebabkan krisis iklim.
Melansir NewsWeek, Claverie menerangkan, "Virus semacam itu tidak akan pernah menginfeksi sel manusia, karena evolusi hampir satu miliar tahun memisahkan sel manusia dari ameba."
"Berapa lama virus ini dapat tetap menular setelah terpapar kondisi luar ruangan (sinar UV, oksigen, panas), dan seberapa besar kemungkinan mereka akan bertemu dan menginfeksi inang yang sesuai dalam interval tersebut, masih belum dapat diperkirakan," terang mereka.
"Akan tetapi risiko pasti akan meningkat dalam konteks pemanasan global ketika pencairan permafrost akan terus meningkat, dan lebih banyak orang akan menghuni Kutub Utara setelah usaha industri.”
Penelitian sebelumnya mengatakan bahwa ada kurang dari lima juta orang yang tinggal di dekat permafrost Arktika. Sudah banyak ilmuwan dan pejabat memperingatkan bahwa pencairan es dan aktivitas eksploitasi sumber daya alam di Kutub Utara bisa berarti menyebabkan risiko bersentuhan dengan patogen kuno.
“Risiko kesehatan masyarakat datang dari percepatan pelepasan virus yang sebelumnya membeku dikombinasikan dengan peningkatan paparan manusia karena pemanasan global juga membuat wilayah Arktika lebih mudah diakses untuk pengembangan industri,” kata Claverie.
Selain itu, ancaman penularan virus ke manusia bisa datang dari mana saja, selama krisis iklim mengancam Bumi. Salah satunya adalah jenis zoonosis yang masih banyak belum diketahui. Risikonya akan semakin tinggi, karena krisis iklim membuat perubahan perilaku hewan sebagai inang utama virus, berpindah menjadi lebih dekat dengan manusia.
Source | : | newsweek,National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR