Nationalgeographic.co.id - Penyebab penyakit flu jelas adalah virus, bukan es krim, minuman dingin, kehujanan, atau kondisi dingin lainnya. Namun, kondisi yang membuat rongga hidung lebih dingin, misalnya cuaca dingin di musim hujan, ternyata memang membuat manusia lebih rentan mengalami flu akibat virus tersebut.
Sebuah penelitian baru akhirnya menemukan perubahan fisiologis yang menjelaskan mengapa kita jauh lebih rentan terhadap infeksi pernapasan tertentu saat cuaca buruk. Penemuan ini adalah mekanisme biologis pertama yang menjelaskan mengapa selesma, flu, dan COVID-19 mengalami lonjakan musiman yang signifikan saat cuaca lebih dingin di wilayah tertentu.
Makalah studi baru ini telah terbit di Journal of Allergy and Clinical Immunology pada 6 Desember 2022. Temuan studi ini diharapkan dapat membantu kita melakukan tindakan pencegahan yang lebih baik.
“Secara konvensional, diperkirakan bahwa selesma dan flu terjadi pada bulan-bulan yang lebih dingin karena orang-orang lebih sering terjebak di dalam ruangan di mana virus di udara dapat menyebar dengan lebih mudah,” kata Benjamin Bleier, direktur Otolaryngology Translational Research di Mass Eye and Ear yang menjadi penulis senior dalam studi ini.
“Namun penelitian kami menunjukkan akar penyebab biologis untuk variasi musiman infeksi virus saluran pernapasan atas yang kami lihat setiap tahun, yang paling baru ditunjukkan selama pandemi COVID-19,” tuturnya seperti dikutip dari IFL Science.
Yang salah bagi kita adalah di hidung, tempat garis pertahanan pertama tubuh kita melawan patogen yang menyerang. Ketika bekerja dengan baik, sistem deteksi patogen di hidung ini akan melepaskan kawanan vesikel ekstraseluler (EV) untuk menangkap dan menyerang penyerbu.
Baca Juga: Wabah 'Flu Tomat' Misterius Menyebar pada Anak-Anak di India
Baca Juga: Hindari Cuaca Dingin, Burung-burung Raptor Bermigrasi Lewati Indonesia
Baca Juga: Selesma Umum pada Bayi dan Balita
Studi-studi dengan para partisipan manusia telah menunjukkan bahwa satu coronavirus dan dua rhinovirus (patogen di balik selesma) dapat melepaskan kawanan EV, meskipun mereka menggunakan jalur pensinyalan yang berbeda untuk melakukannya. Namun, sayanyanya, EV ini bukan tanpa kelemahan.
Rongga hidung terkena unsur-unsur akibat mencuat dari wajah kita dan ada untuk menyedot udara, yang bisa sangat dingin di musim dingin. Penelitian baru menemukan bahwa para partisipan sehat yang terpapar suhu 4,4 derajat Celsius selama 15 menit mengalami penurunan suhu di dalam hidung sebesar 5 derajat Celsius.
Ketika mereka menggunakan penurunan suhu itu untuk memodelkan respons jaringan hidung terhadap patogen secara eksperimental, mereka menemukan bahwa respons imun yang melepaskan EV terhambat. Jumlah EV yang dikeluarkan untuk bertahan melawan patogen yang terdeteksi turun hampir 42 persen, dan yang dilepaskan memiliki protein antivirus yang rusak.
“Kami telah menemukan mekanisme kekebalan baru di hidung yang terus-menerus dibombardir, dan telah menunjukkan apa yang membahayakan perlindungan ini,” tambah Mansoor Amiji, Profesor Terhormat (Distinguished Professor) Ilmu Farmasi di Northeastern University.
“Pertanyaannya sekarang berubah menjadi, ‘Bagaimana kita bisa mengeksploitasi fenomena alam ini dan menciptakan kembali mekanisme pertahanan di hidung dan meningkatkan perlindungan ini, terutama di bulan-bulan yang lebih dingin?’” tegas Amiji.
Source | : | IFL Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR