Nationalgeographic.co.id—Di Eropa Abad Pertengahan, bercerai bisa dikatakan hampir mustahil. Satu-satunya jalan keluar dari pernikahan adalah kematian pasangan atau pembatalan pernikahan.
Seorang wanita yang meminta pembatalan seringkali harus membawa kasus berdasarkan ketidakmampuan suaminya untuk "melakukan tugasnya" di tempat tidur atau secara sederhana, ketika akan berhubungan seksual.
Hal itu sering melibatkan pemeriksaan publik yang canggung di pengadilan, di mana sang suami harus menunjukkan bahwa dia bisa ereksi. Alternatifnya, pasangan yang terasing itu bisa menyelesaikan masalah dengan melakukan duel perceraian.
Di zaman pra-modern, perceraian tidak disukai sedemikian rupa sehingga hampir tidak mungkin untuk mendapatkannya. Raja Henry VIII misalnya menghabiskan waktu bertahun-tahun mencoba membuat Paus membatalkan pernikahannya.
Ketika pembatalan pernikahan itu gagal, Henry VIII membawa Inggris keluar dari lingkungan Katolik, memulai Gereja Inggrisnya sendiri dengan menempatkan dirinya sendiri sebagai pemimpinnya, dan keluar dari pernikahannya dengan cara tersebut.
"Perceraian juga dapat terjadi karena impotensi," tulis Khalid Elhassan kepada History Collection dalam artikel berjudul Oddities, Misconceptions, and Facts About the Middle Ages that Made it So Delightfully Strange yang terbit pada 6 April 2022.
Seorang suami yang akan bercerai, untuk membela diri dari tuduhan impotensi, sang suami harus menunjukkan bahwa ia mampu ereksi. Di ruang sidang, di hadapan para saksi dan ahli hukum, alat vitalnya dipertunjukkan untuk diperiksa.
Namun, biasanya terdapat jalan alternatif untuk membuat seorang suami membuktikan kejantanannya di depan umum dengan "mengeluarkan sperma sesuai permintaan." Selain itu, dalam hal perceraian, pasangan suami istri juga harus melewati pergulatan.
Pasangan itu malah bisa menempuh duel perceraian sebagaimana baku hantam hingga gulat. Pertarungan seperti itu cukup umum untuk menjamin seluruh bab dalam duel perceraian Abad Pertengahan yang populer.
Pada tahun 1467 Hans Talhofer, seorang instruktur tempur Jerman dan penasihat pengadilan sehubungan dengan duel yudisial, menulis Fechtbuch (Buku Anggar). Buku tebal bergambar termasuk teknik untuk pasangan yang ingin mengakhiri pernikahan.
Karena pria memiliki keunggulan fisik, upaya duel perceraian dilakukan dengan tujuan menyeimbangkan kekuatan satu sama lain. Sang suami yang bersenjatakan tiga pentungan harus bertarung dari dalam lubang setinggi pinggang dengan satu tangan terikat di badan.
Sebaliknya, sang istri dipersenjatai dengan tiga batu yang beratnya bisa melawan pound, diikat dengan kain seperti baterai di kaus kaki, dan bisa bergerak bebas di sekitar lubang. Senjata kedua belah pihak harus memiliki panjang yang sama.
Baca Juga: Singkap Temuan Kerangka Kuno di Biara Polandia dari Abad Pertengahan
Baca Juga: Hukuman Abad Pertengahan: Lewat Pertempuran Hingga Gunakan Besi Panas
Baca Juga: Hidangan Favorit Abad Pertengahan, Daging Babi Hingga Fermentasi Ganja
Baca Juga: Aturan Aneh Seks Abad Pertengahan, Jika Melanggar akan Digantung
"Jika hubby menyentuh tepi lubang, dia kehilangan pentungan, dan jika dia melakukannya tiga kali, dia harus melanjutkan tanpa senjata," imbuhnya.
Jika itu terjadi, dia mungkin harus mencoba dan bergulat dengannya ke dalam lubang sebelum dia membenturkan kepalanya. Talhofer menawarkan saran tentang pakaian yang sesuai, teknik terbaik untuk setiap jenis kelamin, dan petunjuk langkah demi langkah untuk mengeksploitasi kerentanan lawan.
Duel itu ternyata adil, dan ada banyak kisah tentang wanita yang keluar sebagai pemenang dari duel perceraian itu. Meskipun duel perceraian Abad Pertengahan tidak sampai mati, kematian adalah hasil akhirnya.
Kalaupun seorang istri yang keluar sebagai pemenangnya, dan suaminya tidak sampai tewas dalam duelnya, ia tetap akan dieksekusi. Begitu juga jika suami menang, istrinya akan dikubur hidup- hidup.
Source | : | History Collection |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR